Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Fotografi dan Kamera Analog yang Tidak Pernah Mati

25 Agustus 2018   09:43 Diperbarui: 25 Agustus 2018   13:30 1965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas saya tulis bukan karena saya habis membaca (kembali) buku "Thus Spoke Zarathustra" yang dikarang oleh Nietzsche yang terkenal karena ada frasa "God is Dead".  Bukan juga karena ikutan Johnny Rotten, dedengkot Sex Pistols yang pernah bilang "Rock is Dead." Itu hanya pertanyaan atau rasa terkejut dalam hati saya, karena menerima bermacam komentar setelah sharing foto-foto yang saya ambil dengan kamera analog, beberapa saat yang lalu.

Inti dari berbagai komentar yang saya terima adalah, kok mau-maunya sih pada zaman yang serba digital ini masih pakai kamera analog. Memang nggak rempong atau ribet? Kan mahal cuci cetaknya? Kuno ah! Dan masih banyak lagi.

Sebenarnya, postingan foto di sana adalah pemandangan di suatu tempat yang saya potret beberapa tahun yang lalu. Tetapi karena saya baru punya waktu untuk memindainya akhir-akhir ini, jadi ya postingnya juga baru sekarang.

Kalau boleh berkata jujur, saya tidak begitu tahu pasti alasan, kenapa saya (masih) menggemari kamera analog? Sama seperti alasan, kenapa saya menggemari fotografi? 

Kalau dipikir-pikir, saya memulai fotografi (atau mungkin lebih tepatnya, membeli kamera), sebenarnya karena ingin suatu media sekadar untuk merekam semua tempat yang sudah saya singgahi (maupun kegiatan yang sudah saya lakukan), untuk kemudian melihatnya kembali jika saya ingin bernostalgia dengan tempat atau kegiatan tersebut. Juga untuk memudahkan saya berkomunikasi (sekaligus membagi informasi) dengan keluarga atau teman di tanah air.

World Heritage Yakushiji, Nara (Olympus XA4, Superia400. DokPri)
World Heritage Yakushiji, Nara (Olympus XA4, Superia400. DokPri)
Kebetulan di Jepang tersedia banyak pilihan untuk kamera, baik digital maupun analog. Juga ada banyak perkumpulan penggemar fotografi, maupun informasi seperti majalah yang terbit rutin setiap bulan, dan bahkan banyak juga pameran fotografi yang bisa kita kunjungi. Sehingga mungkin, karena lingkungan (fasilitas) tersebut, maka saya jadi kepingin juga untuk (bisa) memotret sendiri.

Melalui hasil membaca beberapa informasi dari sana sini, juga setelah mengobrol dengan beberapa teman, kemudian saya membeli kamera digital yang menjadi kamera pertama  saya yaitu Nikon Coolpix. 

Beberapa bulan kemudian saya membeli kamera analog Nikon F801s, yang juga menjadi kamera analog pertama saya. Kemudian setelah beberapa tahun "kalap" membeli di sana sini, dan karena pernah terkena "penyakit" GAS (Gear Acquisition Syndrome) yang agak "akut", maka saat ini saya memiliki beberapa kamera digital dan setumpuk kamera analog, yang mungkin lebih tepat disebut kumpulan junk kamera analog dari berbagai merek.

Olympus O-Product (Olympus SIX, neopan. DokPri)
Olympus O-Product (Olympus SIX, neopan. DokPri)
Sebenarnya prinsip kamera (baik analog maupun digital) sangat simpel. Yaitu "merekam" benda atau pemandangan sekitar melalui pancaran cahaya yang masuk ke dalam kamera melalui lensa. Perbedaan dari media untuk merekamnya inilah yang membedakan antara kamera analog dengan digital. 

Pada kamera digital, sensor digital adalah media yang digunakan untuk merekam cahaya yang masuk. Sedangkan pada kamera analog, lembaran tipis celluloid film yang dilapisi dengan gelatin digunakan untuk media perekamannya (yang biasa disebut dengan film saja).

Desain kamera analog sebenarnya yang paling dekat dengan prinsip kamera, karena tidak ada tambahan macam-macam fungsi seperti pada kamera digital, yang mungkin tidak begitu kita perlukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun