Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu...

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: #13 Maling Soal

16 Oktober 2014   00:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:52 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi hari setelah shalatsubuh dan usai belajar bahasa di mesjid, wajah-wajah kuyu, layu dan tidak bersemangat berhamburan kembali ke asrama masing-masing. Tradisi pagi untuk beberapa orang santri kembali harus dimulai. Melipat properti shalat dan menggantinya dengan pakaian ala kadarnya. Tujuannya adalah bersih-bersih. Setiap pagi dan sore hari, beberapa orang santri mendapatkan giliran untuk menjadi petugas kebersihan asrama, mereka bertanggung jawab soal keberishan asrama, mulai pukul 07 pagi sampai pukul 10 malam. Dan pagi hari ini adalah giliran saya menjadi petugas kebersihan.

Aku mendapati lantai kamar sudah dibanjiri air. Di kolong ranjang, di bawah lemari hingga ke sudut-sudut yang paling sulit dijangkau sekalipunsudah digenangi air setinggi mata kaki. Santri-santri terpaksa harus berjinjit dan melangkah sepelan mungkin supaya tidak terpeleset atau terciprat air. Ini sudah menjadi kebiasaan Jenal Amin menyiram lantai kamar sepuluh ember dan sudah menjadi kewajiban santri yang bertugas hari itu untuk mengepel dan mengeringkannya.

Hari ini saya berempat bersanma dengan Nuku, Menara Baja dan Yazman menjadi petugas kebersihan. Cara kerja mengepel menggiring air banjir yang melanda ruangan kamar yang biasa kami lakukan tergolong unik. Lantai kamar dipel menggunakan handuk bekas yang sudah tidak terpakai lagi dengan cara memegang ke dua ujungnya. Aku memegang ujung kiri dan Baja di ujung kanan. Kami berdua tiarap di kolong ranjang lalu bergerak mundur menarik handuk tersebut menyapu air yang tergenang seluas 6,5 kali 13 meter. Kami melakukannya seperti tentara yang latihan perang di bawah kawat berduri. Menara Baja melakukannya dalam diam namun saya tahu di benaknya sedang menari-nari gairah bahwa suatu saat nanti dia akan meninggalkan zona derita ini dan memasuki zona nyaman yang sudah tidak lama lagi (empat tahun), yaitu menjadi kelas V dan menjadi anggota qismul amni. Sementara Nuku dan Yazman melakukan hal yang sama di bawah deretan kolong ranjang lainnya. Pekerjaan ini melelahkan dan membahayakan. Setelah kolong ranjang kering dari air, kami kemudian menggeser jejeran lemari satudemi satu kedepan dan membersihkan genangan air di bawahnya lalu mengembalikan posisi lemari-lemari tersebut ke tempat semula setelah air di bawahnya kering. Pada saat proses pembersihan dilakukan, pintu asrama ditutup dan santri-santri yang lain tidak boleh masuk karena akan mengganggu dan mengotori lantai yang sudah dipel. Sekumpulan santri yang selesai mandimenunggu di depan pintu biasanya melakukan protes dan sebagian lainnya melontarkan kata-kata mutiara yang memberi semangat supaya kami cepat-cepat menyelesaikan tugas itu.

Waktu yang sangat sempit untuk melakukan banyak tugas di pagi itu memaksa kami melaksanakan kewajiban itu secepat mungkin, karena setelah ini kami masih harus mandi, antri di dapur mengambil sarapan dan menyiapkan seragam untuk dipakai ke kelas formal.

Sayup-sayup sebuah lagu milik Franky & Jane mengalun dari ruangan Kak Usman pembina kelas VI kami. Lagu itu diputarnya setiap pagi menambah gamangnya perjuangan hidup yang kami lakoni setiap pagi. Lagu itu tidak memberi sedikitpun spirit atau menambah energi kami menuntaskan pagi ini sesegera mungkin. Namun lagu itu adalah lagu kesukaan Kak Usman, tidak ada yang berani protes atau memaksa Kak Usman menghentikan lagu itu. Kami hanya menikmatinya saja. Namun lama kelamaan lagu itu menjadi lagu balada kenangan yang tidak bisa kami lupakan sampai detik ini. Aku tidak ingat judul lagunya, namun suara Jane yang sengau, khas dan renyah meyakinkan saya bahwa siapapun kenal lagu ini. Coba kita lihat liriknya: Duduk di hadapanku seorang ibu – dengan wajah sendu, sendu kelabu- Penuh rasa haru, ia menatapku – Seakan ingin memeluk diriku. Cukup sampai di sini saja, lirik selanjutnya pastilah sudah tau. Sama sekali tidak meriakkan spirit bukan?

Hampir jam tujuh pagi, dan aku tidak memikirkan soal sarapan lagi. Aku harus secepatnya menuju sumur untuk mandi dan bersiap-siap ke kelas. Jika tidak, terlambat sedikit saja bisa-bisa malam nanti masuk qismul amni dan pagi-pagi dapat jatah membersihkan WC, kalau begini terus akan jadi mata rantai dan kapan aku bisa sarapannya? Sarapan memang menjadi kegiatan yang sangat penting walau dengan menu ‘paku berkarat’ (ikan teri yang digoreng kecap) sekalipun karena masa sudah memasuki musim ujian.

Pak Laode guru administrasi termasuk salah seorang yang paling sibuk jika musim ujian tiba. Selain sebagai guru administrasi, beliau juga dipercaya menangani urusan percetakan. Pondok melakukan swakelola dalam urusan cetak mencetak soal-soal ujian. Setumpuk soal berbagai mata pelajaran untuk semua tingkatan kelas telah menumpuk di meja percetakan pondok yang terletak di ujung belakang sebelah kanan aula utama. Sebuah papan pengumuman bertuliskan “Restricted Area” usang menempel di pintu masuk percetakan.

Untuk menuntaskan pencetakan soal-soal itu, tak jarang pak Laode harus melakukan kerja lembur. Beliau kadang tidak tidur selama dua minggu penuh sampai pelaksanaan ujian selesai. Proyek pencetakan soal-soal ujian sebenarnya termasuk salah satu proyek rahasia pondok. Jarang sekali yang tahu kalau pak Laode guru administrasi itu adalah sosok yang paling berperan melakukan cetak mencetak soal. Karena selama ini beliau hanya guru ‘biasa’ yang tidak tinggal di dalam pondok. Beliau datang ke pondok hanya jika memiliki jam-jam mengajar administrasi untuk tingkat tsanawiyah kelas I sampai kelas III. Dan jika pak Laode ada di pondok di malam hari itu adalah suatu peristiwa yang luar biasa. Hanya sedikit santri yang bisa membaca gelagat ini.

Pak Laode termasuk guru yang berkomitmen, teguh memegang amanah, tapi agak sedikit kaku. Untuk urusan ujian administrasi yang merupakan mata pelajaran pegangan beliau, jawaban ujian harus sama persis plek yang ada di buku. Mulai huruf besar, huruf kecil, titik koma jika tidak sama persis dengan buku, maka jawaban kami akan disalahkan. Dalam memberikan soal juga terkadang kurang kreatif, misalnya ada pertanyaan begini; Hal yang membahas “Surat Menyurat” terdapat dalam bab berapa dan halaman berapa? Maka tak jarang santri-santri yang putus asa menjawabnya dalam bahasa India “MENEKETEHE?”

Malam ini pak Laode terselip dalam jemaah shalat isya di shaf paling belakang. Itu artinya bayangan kerja lembur menstensil soal-soal untuk ujian keesokan harinya akan ia lakoni malam ini. Tigaorang santri kelas III yang duduk di shaf depannya sedang berbisik-bisik satu sama lain. Sebuah rencana brillian akan mereka lakukan malam nanti.

Dalam bersikap, pak Laode termasuk salah seorang guru yang teguh namun sembrononya minta ampun. Kesembronoannya ini lah yang akan dimanfaatkan santri-santri opportunis.

Jam 10 malam di saat santri-santri lainnya sudah mulai istirahat, 3 orang santri kelas III sedang mengendap-endap di belakang aula utama.Dengan kelihaiannya, mereka memanjat pagar pembatas dan memasuki pekarangan percetakan yang diberi penerangan secukupnya. Dua orang mengendap-endap mendekati pintu percetakan. Sementara satu lainnya berjaga-jaga dekat pagar. Keduanya mengintip dari kaca jendela dan menemukan pak Laode di dalamnya sedang sibuk menstensil soal-soal ujian.

Perhatian utama keduanya adalah tempat sampah pembuangan kertas-kertas bekas cetakan yang reject. Biasanya pak Laode membuangnya secara sembrono dan meletakkannya di depan pintu masuk. Sampah-sampah itu biasanya akan dijemput pak Idris besok subuh untuk dimusnahkan. Rencananya, sebelum kertas-kertas reject itu berpindah ke tangan pak Idris, anak-anak kelas III panjang akal ini akan merebutnya terlebih dahulu dan membawanya ke asrama untuk disensor. Kalau lagi beruntung, beberapa lembar kertas soal yang masih utuh dan jelas terbaca akan menjadi milik mereka.

Malam semakin larut. Namun pak Laode tak kunjung mengeluarkan tempat sampah bermakna itu. Ketiga nya dengan penuh kesabaran menanti saat-saat menentukan itu. Gigitan nyamuk sudah tak dihiraukan lagi, sementara piket malam mondar-mandir menenteng senter di depan dan belakang aula sebesar lampu mobil.

Jika musim ujian tiba, biasanya kegiatan extrakurikuler kampus dikurangi sedikit-sedikit. Pengadilan qismul amni atau mahkamah bahasa yang biasanya bisa berlangsung hingga pukul 00:00 maka waktunya dibatasi hingga pukul 10 malam saja. Kegiatan khitabahatau muhadarah ajang santri berkumpul untuk latihan berdiskusi atau berpidato ditiadakan. Kegiatan belajar mengajar bahasa yang biasanya berlangsung setelah santap malam diganti dengan belajar terpimpin di kelas yang dipandu ketua kelas masing-masing. Bahan pelajaran yang dipelajari adalah mata pelajaran yang akan diujikan keesokan harinya.

Tapi tidak untuk ke tiga santri yang sedang terperangkap di lingkungan percetakan pondokmalam ini. Musim ujian bagi mereka adalah musim detektif-detektifan, musim memanfaatkan otak kiri, musim memanfaatkan kelihaian dan musim menjadi pemulung sampah.

Tahun lalu mereka berhasil mendapatkan 5 soal ujian masih utuh untuk 14 kali pengintaian dan mendapatkan nilai sempurna 10 di rapor masing-masing untuk ke 5 mata ujian tersebut. Untuk tahun ini prestasi mereka minimal harus lebih baik dari tahun lalu. Paling tidak mereka harus merebut 6 ke atas soal ujian buangan pak Laode untuk 14 kali pengintaian. Lagi pula tahun ini adalah sangat menentukan bagi mereka apakah bisa melanjutkan bangku SMA atau Aliyah dengan nilai yang memuaskan. Semuanya tergantung kesembronoan pak Laode.

Pukul 00:00 malam. Waktu makin sempit. Mereka mulai menebak-nebak tabiat pak Laode, apakah malam ini ia akan keluar dan meletakkan tempat sampah itu di dekat pintu atau membiarkan tempat sampah itu terus berada di tempatnya hingga azan subuh tiba.

“Sepertinya tidak ada tanda-tanda pak Laode mengeluarkan tempat sampah itu. Sebaiknya kita pulang dan belajar saja.” Andri mulai putus asa.Badannya mulai bengkak-bengkak dimangsa nyamuk.

“Ssst.. sabar sebentar. Orang sabar disayang Tuhan. Tempat sampah itu sedikit lagi penuh. Kalau sudah penuh, saya yakin dia akan menggiringnya keluar.”Kata Fadli masih bersemangat. Suatu ciri-ciri maling sejati. Sabar dan penuh perhitungan.

“Tapi kita sudah hampir dua jam di tempat ini. Dan tanda-tanda itu belum kelihatan juga.”

“Kita tunggu sampai jam 1.” Fadli mulai memasang target. Suatu rencana yang tidak sembarangan. Karena jika jam 1 malam mereka tidak mendapatkan apa-apa dari sampah-sampah soal reject itu, mereka masih memiliki 3 jam waktu hingga pukul 4 subuh untuk membuat pelampung supaya tidak tenggelam di ujian keesokan harinya.

Tiga serangkai. Ini bukan nama penerbit, bukan nama perusahaan kontraktor, bukan pula merek kacang sangrai yang biasa dijual di koperasi santri. Mereka adalah Andri, Fadli dan Erwin. Mereka adalah santri kelas III yang memiliki pemikiran-pemikiran sederhana dan cenderung memintas. Tanpa bersusah-susah selayaknya santri lainnya mereka memiliki daya jelajah luar biasa.

Dari sekian banyak periode yang sudah ditelorkan pondok ini, tak seorang pun dari pendahulu-pendahulu mereka yang mengetahui cara cepat menemukan soal ujian yang utuh jelas dan gamblang sampai ketiga santri ini masuk dan terdaftar menjadi santri. Awalnya sederhana saja. Tahun lalu ketika mereka mempertanyakan kenapa pak Laode sampai menginap di pondok sepanjang musim ujian. Setelah selidik sana selidik sini, ternyata pak Laode merangkap pula menjadi tukang cetak alias tukang stensil soal-soal ujian. Analisa mereka berlanjut bahwa alat stensil yang reot dan tua yang dimiliki pondok saat ini tidak mungkin sanggup memproduksi hasil cetakanyang 100 % sempurna. Paling tidak ada 5% hasil cetakan yang salah cetak, buram atau kelebihan tinta. Nah yang menjadi sasaran ketiganya adalah yang 5% itu. Dimanakah pak Laode membuangnya?

Observasi awal mereka bahwa di dalam ruangan percetakan ada semacam mesin penghancur yang bisa menghancurkan sampah-sampah kertas menjadi remah-remah, menjadi bubur, menjadi serpihan-serpihan rambut dibelah tujuh belas. Namun ternyata pemikiran pak Laode tidak sejauh itu. Atau pondok belum sanggup membeli mesin penghancur kertas. Selanjutnya mereka berfikiran kertas-kertas soal reject itu akan dikumpulkan, diikat menggunakan tali rafia lalu dimasukkan ke dalam locker yang tidak bisa diaksessama sekali selain pak Laode sendiri. Namun fikiran itu terbantahkan dengan sendirinya karena mereka tidak menemukan locker sebuahpun setelah mengintip ke dalam ruangan percetakan di suatu siang yang sepi.

Dan Aha…. Sederhana saja. Rupanya sampah soal yang sangat berarti itu dibuang begitu saja seperti membuang ingus, membuang bungkus biskuit, membuang puntung rokok ke dalam tempat sampah biasa, sangat biasa yang ada di ruangan stensilan itu. Careless (Sembrono, lalai). Sama dengan hafalan adjective (kata sifat) yang suruh dihafalkan oleh kak Amran Mahmud di buku your basic vocabulary cetakan pertama dan seterusnya karya ustaz Azhar.

Ketiga serangkai saling tatap. Seringai kemenangan tersungging dari hidung-hidung mereka. Ini akan menghantarkannya menjadi juara kelas sepanjang masa. Sepanjang pak Laode tidak menyadari kebiasaan ‘manisnya’, sepanjang mereka tidak kepergok piket malam, sepanjang marginal error 5% produk alat stensil itu berlaku.

Dan malam ini acara prosesi perebutan sampah itu berlanjut. Hanya kesabaran yang bisa membuat mereka menjadi juara kelas. Pak Laode masih asyik bersiul-siul memperhatikan hasil cetakan soal itu satu demi satu. Entah kenapa malam itu ia tidak melakukan kesalahan selanjutnya, padahal sekitar puluhan lembar lagi tempat sampah plastik itu akan penuh dan meminta disingkirkan supaya tidak merusak pemandangan. Tapi malam ini tidak seperti biasanya. Hasil cetakannya selalu sempurna.

Pukul 1 malam. Target pengintaian berakhir. Namun ketiga serangkai itu tak urung meninggalkan tempatnya. Kesabaran membuahkan rasa kantuk tak tertahankan, dan mereka tertidur di pekarangan percetakan sampai azan subuh memanggil, sampai pak Idris datang menjemput sampah-sampah soal itu. Ketiganya tebangun dan berlari menuju sumur untuk mengambil air wudhu. Pupus sudah harapan mengerjakan soal ujian dengan sempurna hari ini. Namun seperti pepatah “esok kan masih ada” meraka masih tersenyum sembari membayangkan aksi mereka besok malam tidak sesial malam ini.

Tiga serangkai mengerjakan soal seadanya. Untuk hari ini mereka tidak membawa pelampung karena tidak sempat mengerjakannya. Tapi untung saja perahu tidak oleng, jadi mereka tidak perlu berenang melompat dari perahu. Soal-soal ujian PMP dan bahasa Indonesia yang senantiasa menjadi pembuka ujian di hari pertama masih bisa diatasi dengan baik. Untuk hari ke II pelajaran IPA dan Matematika tidak ada kata lain selain harus berhasil merebut sampah-sampah soal itu.

Malam kedua, jam 10 malam tepat. Tiga orang santri sudah bertengger di atas pagar percetekan. Dan Hup! Mereka melompat laksana kucing. Tidak meninggalkan suara sama sekali. Dan kali ini nasib mereka jauh lebih indah dari malam sebelumnya. Mereka tidak perlu menunggu lama sampah soal-soal itu digiring keluar dekat pintu percetakan. Mata ketiga serangkai itu laksana kucing mendapatkan ikan ditinggal tuannya. Bersinar-sinar berkejap-kejap. Lidahnya terjulur, jakunnya naik turun. Ketiganya saling menatap. Tidak perlu bersusah-susah. Makanan sudah disiapkan.

Erwin memberi isyarat supaya Fadli segera mengintip ke jendela. Dan dengan berjingkrat-jingkrat Fadli mendekati jendela, nampak olehnya di dalam ruangan pak Laode sedang serius memperhatikan soal yang hendak dicetaknya. Fadli memberi isyarat kepada Erwin dengan membentukkan huruf “O” dari jari telunjuk dan jempolnya. Oke maksudnya. Erwin segera memberi isyarat supaya Andri melompati pagar dan keluar dari pekarangan percetakan. Hup! Nyaris tanpa suara. Erwin melangkah pelan menghampiri tempat sampah yang ada di dekat pintu masuk percetakan. Tangkas saja dia mengeluarkan seluruh isinya dan mengikatnya dengan tali raffia yang dikeluarkan dari saku kantong celananya. Setelah lembaran-lembaran itu kuat terikat dia berlari pelan ke arah pagar dan melemparkannya kepada Andri yang sudah menunggu di luar pagar. Selesai. Fadli sang pengintai sekali lagi mengintip ke dalam jendela. Aman. Pak Laode masih asyik dengan soal-soalnya. Erwin segera berlari melompati pagar diikuti Erwin. Ketiganya pun melakukan toast dan berjalan santai menuju asrama.

“Kegagalan kemarin malam lunas sudah.” Erwin tersungut-sungut seraya menepuk-nepuk bahu kedua sahabatnya.

Fadli menyeringai, “Sebaiknya kita sensor dulu.”

Kegiatan sensor menyensor biasanya dilakukan oleh Fadli supaya tidak mencurigakan. Setelah Fadli menemukan soal-soal yang diinginkan, ia kemudian mendistribusikan soal itu kepada Andri dan Fadli yang selanjutnya bertugas mencari jawaban dari soal-soal tersebut. Setelah semua jawaban sudah ditemukan, hasil nya kemudian dibagikan ke tiap-tiap anak. Kerja sama yang rapi dan kompak.

Fadli membawa seikat kumpulan soal kertas sampah itu dengan ke dua tangannya, ia mengendap-endap memasuki kamar lalu melompat ke atas ranjangnya yang ada di tingkat dua. Ia memeriksa lembaran-lembaran itu seolah sedang membuka-buka catatan ujian yang akan diujikan keesokan harinya. Ia menarik lembar teratas, sebuah kertas yang berisi tumpahan tinta hitam, permukaan kertas itu tidak bisa terbaca. Ia menyingkirkannya. Lembar ke dua, separuh cetak lembaran soal untuk mata ujian PMP yang telah diujikan pagi tadi. Ia menyingkirkannya. Lembar ke tiga, sama dengan lembar kedua, ia menyingkirkannya lagi. Fadli mulai berkeringat walau hawa dingin dari jendela asrama meniup tubuhnya lembut. Lembar keempat, soal untuk santri kelas I walau utuh terbaca namun itu untuk mata pelajaran bahasa Indonesia yang juga telah diujikan tadi pagi. Keringat nya semakin deras menetes.

Jauh di ranjang paling ujung, dua orang teman serangkainya sudah tidak sabar menunggu. Beberapa tumpuk buku sudah disiapkan oleh keduanya sebagai literature pencarian jawaban soal yang susah payah disensor oleh Fadli. Santri-santri lainnya sedang khusyuk belajar, hening, yang terdengar sesekali hanya suara lembaran buku yang dibuka bolak balik.

Fadli menarik lembaran kesekian kalinya, dia masih saja belum menemukan lembaran yang dicarinya. Wah gawat kalau begini. Jangan-jangan ini masih sampah yang kemarin. Ia mulai was-was. Ia terus memeriksa lembaran-lembaran itu satu demi satu. Dan sampailah ia di kertas terakhir. Jantungnya berdebar, nafasnya turun naik, ini usaha paling sia-sia selama ia menjadi tukang sensor soal. Namun tiba-tiba, nafasnya terhenti, darahnya tidak mengalir, membeku, dan wajahnya pias, jari-jarinya yang sebelumnya lincah menarik dan menyingkirkan lembaran-lembaran itu kini lemas menopang kepalanya yang limbung, di kertas terakhir ia menemukan sebuah tulisan tercetak tebal dan mengundang, “AJAK KEDUA TEMANMU LAINNYA SEGERA MENGHADAP AMRAN MAHMUD DI KANTOR PIMPINAN PONDOK” tertanda Laode Mamasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun