Belakangan ini, media sosial ramai memperdebatkan perilaku santri yang nunduk saat bertemu kiai, ikut gotong royong membangun pesantren, atau membantu pekerjaan domestik di rumah kiai. Sebagian menilainya sebagai bentuk feodalisme yang mengekang kebebasan berpikir. Namun, pandangan itu terlalu sempit karena gagal memahami konteks kultural dan spiritual pendidikan pesantren salafiyah.
Adab sebagai Pintu Ilmu dan Barokah
Dalam tradisi Islam, adab bukan sekadar pelengkap, tetapi inti dari ilmu itu sendiri. Ulama salaf mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab akan kehilangan cahaya. Syekh Burhanuddin al-Zarnuji dalam Ta‘lim al-Muta‘allim menulis:
“Ilmu tidak dapat diraih kecuali dengan memuliakan ilmu dan ahli ilmu, serta dengan kesabaran dalam belajar.”
Ketika santri menunduk di hadapan kiai, itu bukanlah bentuk penindasan, melainkan simbol ta’dzim kesadaran bahwa ilmu datang melalui perantara yang dimuliakan Allah. Al-Qur’an menegaskan:
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11)
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Belajarlah kamu semua, ajarkanlah, dan hormatilah gurumu.” (HR. Thabrani)
Menghormati guru bukanlah bentuk kultus individu, melainkan ekspresi spiritualitas intelektual. Dalam tradisi pesantren, ta’dzim menjadi gerbang barokah, karena adab mendahului ilmu, dan barokah mendahului kecerdasan.
Gotong Royong dan Pendidikan Multitalen
Pesantren salafiyah mengajarkan bahwa ilmu sejati tidak hanya diperoleh dari teks, tetapi juga dari laku hidup. Ketika santri gotong royong membangun pesantren, membersihkan masjid, menyiapkan makanan, atau membantu rumah kiai, mereka sedang menjalani pendidikan integral: belajar kerja keras, keikhlasan, tanggung jawab, dan solidaritas.