Mohon tunggu...
Syifa Hayati Islami
Syifa Hayati Islami Mohon Tunggu... Sekretaris Prodi KPI - Institut Agama Islam Sukabumi

Menulislah maka kau hidup selamanya~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nunduk bukan Feodalisme : Memahami Ta'dzim dan Barokah Ilmu dalam Tradisi Pesantren

14 Oktober 2025   10:10 Diperbarui: 14 Oktober 2025   10:36 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Menariknya, semua itu dilakukan dengan penuh kerelaan, bukan paksaan. Tidak ada perintah koersif dalam pengabdian santri. Mereka mengabdi karena cinta kepada ilmu dan hormat kepada guru. Bahkan, santri yang mengabdi sering merasa terhormat bisa berkhidmah kepada gurunya karena itu bagian dari proses spiritual. Seperti sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak orang berilmu di antara kami.” (HR. Ahmad) Santri/santriyat memahami betul makna ini. Mereka membantu dengan hati gembira, bukan karena takut, melainkan karena ingin berkah. Dari sinilah pengabdian melahirkan kemandirian.

Santri putri yang terbiasa memasak, membersihkan, dan mengasuh anak-anak kiai secara tak langsung belajar ilmu pra-nikah: mengatur rumah, menjaga kebersihan, berdisiplin, dan melatih kesabaran. Sementara santri putra yang terlibat dalam pembangunan pesantren belajar tentang konstruksi, listrik, kebersamaan, dan kepemimpinan. Mereka tumbuh menjadi generasi multitalen alias bisa berdakwah, bisa bekerja, bisa hidup mandiri. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Muta‘allim menulis bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang melahirkan amal. Maka, kerja keras dan pengabdian santri adalah bentuk nyata dari ilmu yang menghidupkan amal.

Pesantren dalam Perspektif Sosiologi Komunikasi

Dalam pandangan Émile Durkheim, pesantren berfungsi sebagai institusi moral kolektif yang menanamkan nilai solidaritas sosial. Nilai seperti ikhlas, sabar, dan ta’dzim menjadi fakta sosial yang membentuk karakter komunitas. Gotong royong di pesantren bukan kerja fisik semata, tetapi ritual sosial yang meneguhkan kebersamaan spiritual.

Max Weber memandang hal ini sebagai bentuk rasionalitas religius: tindakan ekonomi dan sosial didorong oleh motivasi religius, bukan paksaan eksternal. Santri yang membantu kiai tidak bekerja karena perintah formal, tetapi karena dorongan batin mencari barokah.

Sementara Clifford Geertz melihat pesantren sebagai pusat makna keagamaan dan budaya Islam Jawa. Di dalamnya, setiap tindakan santri menunduk, bersalaman, membantu guru adalah bentuk komunikasi simbolik. Bahasa tubuh menjadi media dakwah tanpa kata: menandakan hormat, cinta, dan penerimaan terhadap ilmu.

Dalam kacamata sosiologi komunikasi, praktik ini dapat dijelaskan lewat teori interaksi simbolik (George Herbert Mead & Erving Goffman). Setiap gerak dan tindakan santri adalah “pesan nonverbal” yang memiliki makna sosial dan spiritual. Komunikasi di pesantren bukan transaksional, melainkan transendental menghubungkan hati dengan nilai-nilai ketuhanan.

Makna Ta’dzim sebagai Etika Sosial

KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menjelaskan bahwa keberkahan ilmu bergantung pada adab terhadap guru. Beliau menulis, “Hendaklah pelajar bersabar terhadap kerasnya guru, tidak memutus hubungan dengannya, dan selalu memuliakan ilmu serta orang yang mengajarkannya.”

Pesantren menanamkan hal ini sejak awal. Di tengah masyarakat modern yang kering dari adab, tradisi santri mengajarkan nilai universal: menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda, bekerja ikhlas, dan menjadikan pengabdian sebagai ibadah.
Dari rekal pesantren lahir manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi tangguh, rendah hati, dan mandiri. Santri dan santriyat terbiasa bekerja sama tanpa memandang gender; santri putra bisa memasak, santri putri bisa memimpin, keduanya tumbuh dengan jiwa egaliter yang dilandasi cinta kepada ilmu dan guru.

Kesimpulan
Ta’dzim, barokah, ikhlas, dan sabar bukanlah simbol feodalisme, melainkan nilai spiritual yang melahirkan karakter kuat. Pengabdian santri bukan hasil paksaan, tetapi buah dari cinta, kerelaan, dan kesadaran bahwa ilmu sejati menuntut pengorbanan.
Jika dilihat dengan perspektif sosiologi komunikasi, seluruh tradisi pesantren mulai dari nunduk, gotong royong, hingga mengabdi adalah bahasa sosial yang sarat makna: komunikasi spiritual antara guru dan murid, antara manusia dan Tuhannya.
Di balik nunduk santri, ada kebanggaan.
Di balik sapu dan cangkul, ada pendidikan karakter.
Di balik pengabdian, ada cinta dan barokah yang tak ternilai.

Tentang Penulis:
Syifa Hayati Islami, M.Sos. adalah seorang dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam di Institut Agama Islam Sukabumi, guru ngaji di Pendidikan Islam Darul Falah, Kader Fatayat NU PAC Cipanas - Cianjur dan pemerhati budaya pesantren.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun