Mohon tunggu...
Syifa Azzahra
Syifa Azzahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

hai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Jihad dalam Perspektif Islam

24 Desember 2021   23:00 Diperbarui: 24 Desember 2021   23:20 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Pada zaman serba canggih, informasi dapat menyebar luas dengan pesat. Merupakan hal yang umum apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pengertian suatu konsep baik itu kesalahan dalam pemahamannya maupun dalam prakteknya. Sebagai seorang muslim, kita harus mampu menyaring dan mencerna segala informasi yang didapat dengan teliti terutama informasi mengenai konsep keagamaan. Kesalahpahaman terhadap makna kata Jihad hanyalah salah satu contoh dari persebaran informasi yang salah. Agama Islam mempunyai Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber pedoman dan rujukan utama. Kata Jihad dan derivasinya disebutkan dalam Alqru’an sebanyak 41 kali dan teripisah pada 19 ayat (Fattah, Muhammad, 2016, J-PAI). Tidak semua kata Jihad dalam Al-Qur’an memiliki arti perang, walaupun memang secara historis arti perang yang melekat pada kata Jihad sesuai dan benar dengan kondisi dan situasi pada saat itu.

Jihad adalah salah satu ajaran Islam yang paling diamati oleh beberapa golongan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya persepsi yang bersumber dari kaum non Muslim. Sayangnya pengamat kalangan barat seringkali menyimbolkan Jihad dengan peperangan, kekerasan, teror, serta tindakan ekstrem lainnya. Pemahaman seperti ini ditopang oleh data-data empiris, yakni perilaku kaum fundamentalis Islam yang sering melakukan tindakan anarkis seperti aksi teror serta menanamkan bibit kerusakan dan perpecahan di tengah-tengah perdamaian dan ketentraman dunia (Mehden, 1983:18-25). Pemahaman yang miring akan hal ini otomatis turut mengotori citra agama Islam. Dalam konteks ini, Islam diketahui sebagai agama yang disebarkan melalui perang dan pertumpahan darah (Sa’id hawi, 1979:3).

Pandangan buruk terhadap agama Islam secara langsung merugikan kaum muslimin seperti adanya berbagai macam bentuk diskriminasi yang terhadap umat terutama bagi mereka yang tinggal di negara dengan mayoritas agama lain. Hal miris tersebut tentunya tidak sesuai dengan nilai serta ajaran Islam. Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian serta menjunjung tinggi kasih sayang dan toleransi. Bentuk-betuk kekerasan yang tertanam di pola pikir manusia yang tidak paham dengan Islam sangat kontradiksi dengan fakta yang sebenarnya.

Awal dari kesalahpahaman ini berasal dari kesalahan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an atau hadist yang bersangkutan dengan Jihad. Penafsiran yang dilakukan tidak melakukan pengkajian lebih dalam mengenai sisi historis turunnya Al-Qur-an. Memang betul adanya Islam mensyariatkan perang dan hal ini tertera dalam kitab suci. Namun, perang tersebut bukan berarti memerintahkan umat untuk menyerang orang lain secara fisik. Defenisi sebenarnya ialah perang melawan hal-hal negatif seperti melawan nafsu dan perlawanan non fisik lainnya. Nilai kasih sayang dalam ajaran Islam tidak akan hilang sampai kapanpun. Penerapan Jihad sesuai dengan skala kemampuan dan tuntutan keadaan sehingga tidak seharusnya dimaknasi tunggal sebagai perang fisik secara frontal terus-menerus. Kaum Muslimin diperintahkan untuk meningkatkan kualitas diri dengan memahami dan memperdalam Al-Qur’an sehingga mereka mampu untuk membentengi diri dan pemikiran mereka.

Perang sendiri ialah jalan dan pilihan paling terakhir yang boleh dilakukan oleh seorang Muslim dalam menegakkan tonggak agama setelah dakwah. Pendekatan secara sosial jauh lebih diutamakan untuk menghindari pertumpahan darah. Rasulullah selalu mengingatkan umatnya mengenai keutamaan dari sifat sabar. Hal ini seharusnya tertanam dalam diri seorang Muslim yang baik bahwa kekerasan tidak pernah akan pernah dibenarkan meskipun kita didzalimi dan hanya dibolehkan dalam bentuk pembelaan diri. Perang itu sendiri bukan serta merta berarti seorang Muslim boleh menyerang mereka yang berasal dari umat lain atau kelompok dengan keyakinan berbeda. Namun, perang hanya disyariatkan sebagai bentuk pembelaan diri dari perlawanan umat kafir terhadap Islam. Wujud dari serangan tifak selalu harus berupa serangan fisik. Serangan tersebut dapat berbentik serangan pemikiran, keilmuan, perekonomian dan bidang-bidang lain yang cenderung sensitif dan sering mengalami konflik antara umat Islam dengan pihak lain.


Atas dasar permasalahan yang terjadi, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap pemahaman hakikat jihad dalam Islam dengan tetap menjadikan kitab suci Al-Qur’an dan hadist shahih sebagai rujukan dan sumber utama. Informasi yang faktual dan sesuai dengan kebenaran pun seharusnya turut disebarkan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan miskonsepsi yang terjadi. Sungguh miris apabila kita melihat saudara kita yang mempunyai status kaum minoritas pada tempat tinggal mereka mengalami tindakan rasisme yang dapat menimbulkan rasa nyaman bahkan rasa aman. Terdapat kemungkinan bahwa dalam penelurusan terhadap hal ini akan ditemukan pandangan-pandangan yang berbeda dikarenakan dalam penafsirkan Al-Qur’an pun terkadang masih menemukan kerancuan yang dapat berujung kepada perbedaan pandangan. Mengetahui makna atau hakikat Jihad dalam Islam melalu konsepnya yang tertera dalam ayat Al-Qur’an, hadist shahih, kitab-kitab tafsir, serta fiqh merupakan cara paling objektif yang bisa dilakukan. 

Konsep jidad adalah sebuah term dalam ajaran Islam yang sudah sepatutnya dinilai dari perspektifnya juga. Seluruh jurnal, artikel, karya ilmiah yang telah dikaji bersama untuk menyusun artikel ini diharapkan menyajikan data-data yang faktual dan sesuai dengan pedoman utama umat Islam.

PEMBAHASAN

Pengertian Jihad

Kata Jihad dalam bahasa Arab berasal dari kata Jahada-Yajhadu-Jahdan/Juhdan yang berarti kesungguhan, kesulitan, dan kelapangan. Kata Jahada juga dapat diartikan sebagai usaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa perkataan dan perbuatan. Akar kata Jahada dibentuk menjadi thulati mazid dengan menambahkan alif sehingga menjadi jahada, yujahidu, mujahadatan (Abdullah, 1978:11) dengan arti yang sama yakni berusaha semaksimal mungkin. Secara etimologis, kata Jihad berakar dari kata al-juhd yakni upaya, kesungguhan, dan kesulitan (Munawwir, 1977:217). Asal kata Jihad ialah al-jahd, al-majhud, al-juhd, yang memiliki makna kemampuan. Al-majhud sendiri memiliki makna susu yang dikeluarkan dari intisarinya. Kalimat ini menggambarkan kesukaran dan bentuk kesungguhan dalam mengeluarkan air susu. Sedangkan arti yang memiliki kedekatan dengan kesulitan adalah “keras” dan bersungguh-sungguh (Abdullah, 1978:11).

Dari segi bahasa, secara general dan garis besar Jihad bisa pula diartikan sebagai penyeruan (al-Da’wah), menyeru kepada yang ma’ruf serrta mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar), penyerangan (gazwah), pembunuhan(qital), peperangan (harb), penaklukan (siyar), menahan nafsu (Jihad- Al-Nafs) serta kata lain yang memiliki makna yang sama atau serupa.

Berdasarkan akar, asal, dan segi bahasa dari kata Jihad, dapat diketahui bahwasanya Jihad memiliki makna sebagai upaya yang bersungguh-sungguh, sulit, maksimal, keras, dan kuat. Dikatakan kesukaran karena di dalamnya terdapat banyak hambatan, rintangan, dan musuh yang sulit untuk dihadapi dan memerlukan kemampuan ekstra baik itu dalam bentuk fisik, batin, material, non material, maupun ilmu atau kepandaian. Jika dilihat dari pandangan terminologinya ialah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dari musuh yang tak kasat mata seperti hawa nafsu, syaitan, dan musuh yang dapat terlihat secara fisik yakni orang-orang kafir (Al-Asfahani, t.th208).

Berpijak dari hasil analisis makna sebelumnya, terlihat jika Jihad merupakan sebuah istilah Islam yang mengandung pengertian yang luas. Dampak dari makna umum ini menimbulkan pemahaman yang dangkal atau parsial. Jihad tidak dapat dimaknai sebatas perjuangan fisik melawan musuh-musuh seperti orang-orang kafir, munafik, atau zalim. Bentuk perlawanan bisa dimaknai sebagai perlawanan terhadap kebodohan yang dapat menyebabkan hambatan dalam pengembangan intelektual atau hawa nafsu yang dapat mendorong manusia melakukan perilaku yang merusak martabatnya.

Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.

Pemaknaan Jihad dalam Al-Qur’an

Kata Jihad tercantum dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dengan 6 ayat yang menjabarkan mengenai perintah Jihad sedangkan ayat lain adalah sekumpulan hukum dan filosofi mengenai Jihad. Sebagian besar ayat tersebut turun di Madinah dengan situasi nya pada saat itu kegiatan dakwah yang sangat gencar dilakukan. Turunlah salah satu ayat Allah SWT yakni QS. Al-Furqan:52 mengenai pengutusan Allah SWT terhadap Muhammad kepada seluruh manusia untuk berjihad kepada mereka dengan mengajarkan Al-Qur’an. Dari ayat rersebut dapat dimaknai Jihad ialah berdakwah mengajarkan Al-Qur’an dengan semangat yang besar.

Pengertian Jihad dalam makna moral dapat ditemukan dalam QS al-Ankabut ayat 69 di mana terpapar bahwa orang-orang yang berjihad dalam mencari ridha Allah akan ditunjukkan jalan bagi mereka dan Allah SWT akan selalu menyertai mereka (orang-orang baik). Menurut Yusuf al-Qaradhawi jihad moral meliputi jihad terhadap hawa nafsu dan jihad melawan godaan setan seerta tidak ada unsur peperangan sedikitpun pada ayat ini.

Ayat suci Al-Qur’an surah an-Nahl ayat 110 memaparkan kondisi kaum mulsimin yang lemah di Mekkah ketika masa permulaan Islam. Mereka diasingkan serta difitnah oleh kaumnya. Kemudian mereka menghadapi hal tersebut dengan berhijrah serta melakukan jihad. Kata Jihad di sini tentunya bukan bermakna perang karena perintah perang turun pertama kali ketika periode Madinah. Jihad dalam ayat ini berarti kesabaran kaum muslimin terjadap ujian yang sulit atau cobaan yang berasal dari golongan kafir.

Setelah beberapa ayat diturunkan pada periode Madinah, dapat terlihat sebagian ayat turut mennyertai objek berjihad seperti oada surat al-Tahrim ayat 9 dengan objek yang tercantum adalah orang munafik dan kafir. Sedangkan sebagian yang lain tidak turut mencantumkan objek yang spesifik sepeti pada surat Al-Baqarah ayat 218 dan al-Maidah ayat 35. Berdasarkan suatu kaidah penafsiran, objek tersebut bersifat umum dan mencakup seluruh aspek yang berada dalam jangkauan lafaz. Objek Jihad tidak terbatas pada orang kafir saja tetapi juga menjangkau perilaku apa saja yang tidak sesuai dengan aturan dalam agama Islam.

Ayat pertama yang mengizinkan Nabi Muhammad dan para sahabat untuk berperang melawan kaum kafir ialah QS. Al-Hajj : 39-40 dikarenakan golongan Quraisyi mengusir golongan Muslim dari Mekkah. Setelah turunnya ayat tersebut Rasul membentuk sebuah pasukan untuk menjaga kawasan di luar kota Madinah sebagai antisipasi dari serangan mendadak yang mungkin dilakukan. Perang pertama yang terjadi antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisyi adalah perang Badar pada 17 Ramadan tahun 2 Hijriah.

Betapa pentingnya melihat perspektif historis dari ayat tentang Jihad yang terdapat pada kitab suci. Dapat ditegaskan bahwa Jihad sama sekali tidak identik dengan perang walaupun terdapat beberapa ayat yang membuatnya terlihat demikian. Hal tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi zaman Rasul di mana kaum muslimin terus didzalimi oleh golongan kafir sehingga mereka harus melakukan peperangan sebagai bentuk pembelaan diri dan menegakkan tonggak keagamaan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemahaman tentang jihad yang selalu mengidentikkan dengan perang bukanlah sesungguhnya pemahaman yang bersifat Qur’aini (tidak bersumber dari Al-Qur’an).

Pemaknaan Jihad dalam Hadist

Setelah ayat suci al-Qur’ān, hadist menjadi pedoman dan sumber hukum Islam yang menduduki posisi prioritas kedua dalam menafsirkan suatu konsep atau menentukan sebuah hukum. Berbagai permasalahan mengenai jihad adalah salah satu perkara serius yang hukum dan bahasannya banyak tercantum di dalam hadist Rasulullah serta riwayat para sahabat. Berdasarkan prinsip mengenai hadist, para ulama mengkaji dan menganalisis hadist yang bersangkutan untuk menyimpulkan makna dari kata Jihad.

Dalam Fatḥ al-Bāri, Ibnu Ḥajar menjelaskan bahwa jihad menurut syariat adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi kaum kafir. Jihad juga digunakan dalam arti melawan hawa nafsu, shaiṭān dan orang fasik. Jihad melawan hawa nafsu adalah dengan belajar masalah agama, mengamalkannya dan mengajarkannya. Adapun jihad melawan shaiṭān adalah menolak semua shubhāt (keragu-raguan) dan bisikan hawa nafsu yang berasal darinya. Sedangkan jihad dalam arti melawan orang kafir dapat dilakukan dengan kekuatan, harta, lisan dan hati, sementara jihad melawan orang fasik adalah dengan kekuatan, lisan dan hati

Dijelaskan pula dalam Fatḥal-Bāri bahwa tidak ada lagi hijrah setelah penaklukkan Kota Mekkah dan hukum ini berlaku pada semua wilayah yang telah ditaklukkan oleh Islam. Hadis ini mengisyaratkan bahwa semua wilayah yang telah berada di bawah kekuasaan Islam akan tetap menjadi wilayah Islam hingga hari kiamat, karena perpindahan dari satu wilayah Islam ke wilayah Islam lainnya tidak dinamakan hijrah lagi. Kemudian Ibnu Ḥajar menambahkan apabila seorang muslim berada pada suatu wilayah yang belum ditaklukkan Islam, maka hukumnya ditinjau dari kondisi muslim itu di wilayah tersebut. Adapun pahala berhijrah diganti dengan berjihad ke wilayah yang belum ditaklukkan Islam untuk meyebarkan agama Allah, baik menggunakan tulisan, lisan ataupun pedang dan dilakukan dengan niat tulus mengharap keriḍaan Allah.

Sebuah hadist ini memperjelas bahwa yang dikatakan berperang di jalan Allah adalah yang berniat menjunjung kalimatullāh, yaitu berdakwah mengajak kepada Islam dan benar-benar mengharap ridha Allah. Niat yang demikian harus menjadi niat awal dan utama ketika seorang mujahid berperang. Namun apabila dalam pelaksanaan muncul maksud-maksud selain hal tersebut, maka tidak jadi masalah asalkan niat karena Allah tetap yang utama. Ini merupakan pendapat (Al-Ṭabarī dan Jumhur Ulama).

Jihad antara Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah

Jihad dikatakan Fardhu ‘Ain apabila tidak ada lagi orang yang melakukan jihad kecuali hanya dirinya sendiri maka pada saat posisi itulah hukumnya menjadi Fardhu ‘Ain. Selain itu, yang dapat dikatakan sebagai Fardhu ‘Ain apabila sebab-sebab berikut ini:

  1. Apabila seorang Imam atau Pemimpin Agama telah mewajibkan bagi suatu kaum untuk berperang maka Jihad tersebut menjadi Fardhu ‘Ain dan Allah SWT mencela keras kepada orang-orang yang enggan untuk berjihad di jalan Allah hanya dikarenakan kecintaannya yang berlebihan kepada dunia.
  2. Apabila ketika sedang berada di medan perang, maka wajib baginya untuk menghalau musuh, sebab jika lari dari medan peperangan kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain hukumnya dosa besar (QS. Al-Anfal: 15-16)
  3. Apabila suatu wilayah diserang oleh musuh Islam, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin di wilayah itu untuk berjihad karena hukumnya adalah Fardhu ‘Ain dan dikarenakan pula seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menyerah kepada musuhnya selama ia masih mampu untuk mengadakan perlawanan terhadap mereka.

Sementara Jihad dikatakan sebagai Fardhu Kifayah apabila sebagian orang telah melakukannya dan sebagian lain telah mengetahuinya. Hal ini terus berkelanjutan dalam menegakkan suatu Jihad tersebut. Namun, apabila tidak ada seorangpun yang melakukannya maka berdosalah seluruh orang yang ada di wilayah/daerah tersebut.

Terdapat kasus lain ketika ada seseorang dihadapkan pilihan untuk mengikuti Jihad atau mengurus orang tuanya yang sedang membutuhkan pengabdiannya. Kemudian, sebuah hadis menerangkan tentang permasalahan ini yang diriwayatkan Abdullah bin Amru ra yang dapat diartikan sebagai berikut:

“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw untuk meminta izin melakukan Jihad, kemudian beliau bertanya:”apakah kedua orang tuamu masih hidup? pemuda itu menjawab ya (orang tua saya masih hidup) kemudian Rasulullah saw berkata,”mengabdilah kepada orang tuamu karena itu juga merupakan Jihad. (HR. Muslim)”.

Dari hadist diatas telah menjelaskan bahwa mengabdi kepada kedua orang tua lebih diutamakan karena jihad kepada kedua orang tua hukumnya Fardhu Ain, sedangkan Jihad pilihan lainnya itu hukumnya Fardhu Kifayah. Oleh karena itu, dikedepankan jihad atas dasar skala prioritas dengan kaedah yang artinya:

“Perbuatan yang lebih besar manfaatnya (baca; kepentingan umum) lebih didahulukan daripada perbuatan untuk diri sendiri dan lebih kecil manfaatnya (baca:kepentingan pribadi). Karena Jihad untuk menjaga wilayah Islam dari serangan musuh dan untuk kepentigan umat Islam secara keseluruhan maka ia dikedepankan dari mengabdi kepada orang tua yang manfaatnya untuk diri sendiri”.

Tujuan dan Manfaat Jihad

Jika kita telaah lebih lanjut lagi, tujuan Jihad yang utama yaitu mengembalikan manusia kepada pokok pangkalnya, fitrahnya yang hanif yaitu yang mengharuskan mereka (kaum muslimin) dan patuh kepada Allah SWT. Disamping itu tujuan lainnya ialah untuk menghilangkan fitnah-fitnah yang ada terhadap kaum muslimin, melindungi wilayah Islam dari serbuan orang-orang kafir dan membunuh mereka yang melanggar perjanjian.

Sayyid Qutub mengatakan dalam tafsir Zilalnya mengatakan sebagai berikut:

“Sesungguhnya motivasi Jihad dalam Islam yang sebenarnya yaitu harus dicari dai tabiat Islam itu sendiri sesuai dengan peranannya di bumi ini dan sesuai dengan tujuan yang mulia, sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah SWT”.

Hal ini dipertegas Kembali oleh Abul A’la al Maududi yang mengatakan bahwa “Sasaran tauhid bukanlah berkisar pada Ibadah Allah SWT semata-mata, akan tetapi lebih meluas lagi yaitu dakwah menuju revolusi sosial”.

Manfaat dari Jihad dapat kita ketahui yaitu meninggal dalam keadaan syahid. Ahmad syakir menjelaskan keutamaan dari mati syahid, yakni meninggal di medan perang yaitu bahwa ada balasan bagi orang-orang yang mati syahid, Allah swt tidak akan menyia-nyiakan perjuangannya di medan perang, justru Allah swt akan menumbuhkan, melipat gandakan dan memperbanyak amalnya.

Terdapat hadis yang menjelaskan perihal mati syahid antara lain sebagai berikut:

  1. “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, barangsiapa yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya (jiwanya) maka ia syahid dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka ia syahid” (HR. At-Tirmidzi).”
  2. “Ada enam keuntungan yang dijanjikan Allah swt melalui sabda Nabi Muhammad saw antara lain: diampuni baginya pada awal tetesan darahnya, diperlihatkan tempatnya di surga, diberikan manisnya iman, dinikahkan dengan bidadari yang menyejukkan mata, dibebaskan dari azab kubur, aman dari suasana kekuatan yang terbesar, diatas kepalanya diletakkan mahkota kemuliaan, permata darinya lebih baik dari dunia dan seisinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua isteri bidadari, dan diberikan hak memberikan syafa’at untuk tujuh puluh kerabatnya.” (HR al-Imam Ahmad dari al-Miqdam bin Ma’dikarib al-Kindi).
  3. “Dari Humaid ia pernah mendengar Anas bin Malik ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak seorangpun dari hamba yang mati disisi Allah mau dikembalikan lagi kedunia dengan segala apa-apa di dalamnya kecuali orang yang mati Syahid (arena telah menyaksikan betapa besarnya pahala Jihad) ia akan sangat senang sekali kembali kedunia untuk berperang di jalan Allah lalu ia mati dalam keadaan Syahid.” (HR. Muslim).

KESIMPULAN

Pemaknaan konsep kata Jihad jauh lebih luas dari sekedar perang (qital) saja. Setiap kesungguhan dan usaha yang dilakukan oleh umat muslimin dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT merupakan bentuk dari Jihad. Adapun Jihad dalam makna peperangan merupakan pilihan terakhir dalam rangka menegakkan dan membela agama Islam dan ditegaskan kembali bahwasanya Islam membenci kekerasan dalam bentuk apapun. Serangan yang dilakukan tidak harus selalu berupa serangan fisik melainkan bisa berupa serangan melalui pemikiran, ilmu, teknologi, dan lain sebagainya. Jihad adalah kewajiban seorang mukmin untuk mempertahankan agamanya. Sedangkan bentuk Jihad dan cara perjuangannya bermacam-macam sesuai kebutuhan dan situasi.

Sumber referensi

Aliyah, Sri. 2010. Hakikat Jihad. Bandung: Fiqh Jihad Mizan.

Alquran dan Terjemahan, DEPAG,RI

Asnan, Imam. 2019. URGENSI JIHAD MASA KINI DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Bogor, Ngawi : Institut Agama Islam Tazkia, Universitas Darussalam Gontor.

Fattah, Abdul. 2016. Memaknai Jihad dalam Al-Qur’an dan Tinjauan Historis Penggunaan Jihad dalam Islam. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.

Izza, Azzizah. 2020. Kritik Wacana “Allah Perlu Di Bela”: Tinjauan Ulang Atas QS. Muhammad Ayat 7 Dan QS. Al-Hajj Ayat 40. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Kamarudin. 2008. Jihad dalam Perspektif Hadist. Riau: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Abdurrahman.

Ma’afi, Rif’at dan Muttaqin. 2013. Konsep Jihad dalam Perspektif Islam. Jawa Timur: Halimah.

Madehaini, Kuntari. 2019. Hakikat Jihad dalam Islam. Banda Aceh: STAI Al-Washliyah.

Naya, Farid. 2008. Mengungkap Makna dan Tujuan Jihad dalam Syariat Islam. Ambon: IAIN Ambon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun