Mohon tunggu...
Syifa AuliaRahma
Syifa AuliaRahma Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Jakarta, PBSI'20

Do the best, be the good then you will be the best! ✨

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Retorika Belajar #dirumahAja

13 Desember 2020   08:00 Diperbarui: 13 Desember 2020   13:52 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pandemi covid-19 begitu mengubah dunia. Segala sistem yang biasa dijalankan tiba-tiba mati dan masing-masing mendadak kebingungan bagaimana mempertahankan eksistensi. Pandemi terus berlajut tidak mengenal, tidak pandang bulu. Siapapun terkena imbasnya. Bencana mematikan dan tiba-tiba ini tentu menjadi polemik di seluruh lapisan masyarakat. Dilihat dari sudut ekonomi, tentu pandemi ini menghasilkan banyak ilusi. Lebih jauh lagi, angka pengangguran pun pasti menurun seiring berjalannya waktu. Menurut data yang penulis dapat, sekitar 10 juta masyarakat Indonesia kehilangan pekerjaannya (Eko Susanto : 2020). Beberapa dari mereka putus hubungan kerja, sebagian kecil masih dipertahankan dengan dirumahkan tanpa gaji.

Proses pembelajaran di sekolah merupakan alat kebijakan publik terbaik sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan skill (Caroline Hodges Persell : 1979). Selain itu banyak siswa menganggap bahwa sekolah adalah kegiatan yang sangat menyenangkan, mereka bisa berinteraksi satu sama lain. Sekolah dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran kelas sosial siswa. Sekolah secara keseluruhan adalah media interaksi antar siswa dan guru untuk meningkatkan kemampuan integensi, skill dan rasa kasih sayang diantara mereka.

Angka kebutuhan pelajar selama pandemi meningkat seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi. Terlebih, semua aspek kegiatan yang terbiasa kita lakukan kini harus diubah menjadi mode online. Aplikasi seperti Zoom Cloud Meeting, Google Meeting, Google Classroom, Cisco Webex, dan lain sebagainya menjadi apliksi alternatif dalam menjalankan kewajiban. Kesehatan fisik dan metal benar-benar diuji. Terlebih kepada para pelajar. Mereka harus menanggung beban akademik di rumah sementara fasilitas yang didapat setiap orang berbeda− dengan beban yang sama.

Para pelajar menjadi kebingungan untuk mengerti. Jangankan materi, mencoba memahami diri sendiri tentang apa yang sedang terjadi pun mereka tidak mumpuni. Mereka dipaksa tetap menjadi seorang civitas akademi sementara mereka pun sedang bergejolak batin dengan apa yang tidak seharusnya menjadi bagian mereka. Tidak dapat dipungkiri, begitu banyak pelajar dan mahasiswa menjadikan lingkungan sekolah dan kampus sebagai pelampiasan emosi, dimana mereka dapat meluapkan apa-apa saja yang terjadi. Berbeda di rumah.

Berkesinambungan dari faktor ekonomi di atas tadi, pelajar dan mahasiswa “seakan” dipaksa untuk turut memahami apa yang sedang terjadi dalam keluarga sehingga beban mereka menambah. Belum lagi dengan yang memiliki kewajiban untuk mengajarkan satu sama lain. Materi sendiri saja belum tentu mengerti, sudah disuruh mengajari yang lain. Kondisi tersebut menjadikan para pelajar dan mahasiswa “dipaksa” harus belajar di rumah dimana sebagian besar tidak terbiasa melakukan hal tersebut. Untuk jangka waktu pendek hal tersebut tentunya tidak menjadi masalah, tetapi dalam jangka panjang akan membuat anak menjadi bosan dan tertekan, sehingga hal tersbut menyebkan anak menjadi terganggu kesehatan mentalnya, mulai dari cemas sampai kasus depresi (Purwanto, dkk., 2020).

Di samping itu, keterbatasan daerah juga menjadi alasan belajar daring bukanlah pilihan yang efektif selama pandemi. Namun, bagaimana lagi? Tidak ada lagi solusi yang dapat diberikan dari pemerintah untuk mengatasi. Pilihan merumahkan segala aspek kegiatan juga diarasa merupakan pilihan yang paling baik mengingat angka pasien yang terus meningkat. Kemudian bukan hanya pelajar. Para pendidik juga merasa kesulitan, terlebih bagi mereka yang sudah memasuki lanjut usia. Mengajar di kelas saja sering menemukan banyak kendala, bagaimana dengan menggunakan teknologi yang bahkan mereka tidak mengerti kalau memencet tombola apa, yang keluar di layar apa. Hal ini mejadi sebuah momok yang semakin mempertajam positif dan negatif pandemi. Keterbatasan pendidik dalam memberikan pengajaran tak urung membuat pelajar dan mahasiswa merasa bosan dan semakin terkungkung bak dipenjara.

Pandemi masih terjadi, dan kita semua tahu ini semua diluar kendali. Sudah saatnya kita semakin mengerti dan mempertajam toleransi, saling menjaga satu sama lain demi keselarasan hidup bersama. Bagaimanapun, pandemi juga turut memberikan pelajaran. Bahwa sekecil apapun pertemuan adalah sebuah harga yang tidak terkira. Nanti, saat segala kegiatan sudah normal kembali, akan buncah seluruh emosi para pelajar dan mahasiswa itu.

Daftar Pustaka

Caroline Hodges Persell. (1979). Educations and Inequality, The Roots and Results of Strattification in America’s Schools (Pertama). United States of America: The Free Press.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun