Konklusi yang salah di atas didapat dari premis minor yang meleset. Meleset di antara dua aspek atau bahkan keduanya, yakni pertama, definisi Islam. Kedua, identifikasi tentang apa saja yang Islam. Mengenai yang pertama, sudah dijelaskan di artikel sebelumnya dengan tajuk: "Berislam dengan Logis: Signifikansi "Definisi"". Adapun yang menjadi fokus artikel ini adalah kesalahan yang terjadi pada yang terakhir, yakni salah identifikasi.
 Salah identifikasi itu kerap begitu saja dilewati dalam pola pikir kita selama ini lantaran diselipkan dalam premis mayor yang sudah disepakati. Penentangan terhadap premis minor akhirnya dituduh dan dikaburkan sebagai penentangan terhadap premis mayor. Misalnya dalam konteks contoh di atas, penentangan terhadap tuduhan bahwa Pancasila bukan Islam disimpulkan sebagai penentangan terhadap Islam. Menolak "Khilafah" (dalam tafsir HTI misalnya) berarti menolak Islam.
 Maka, jika kesalahan dalam identifikasi premis minor saja akan menimbulkan kesimpulan yang salah kaprah, bayangkan jika kesalahan terjadi sejak di premis mayor. Betapa rusaknya sebuah bangunan kesimpulan?!
 Pola silogisme ini nantinya dalam Islam dibutuhkan dan signifikan dalam bangunan ajaran Islam. Silogisme misalnya, dibutuhkan sebagai salah satu metode penarikan hukum dalam ilmu ushul fiqh. Pengaruh itu sudah ada sejak ushul fiqh diletakkan pondasinya pertama kali oleh Imam Syafi'i melalui karya agungnya: "Al-Risalah", yakni dalam penarikan hukum melalui metode qiyas (analogi). Lebih jauh, pengaruh silogisme yang bersumber dari filsafat Aristoteles itu terhadap qiyas Imam Syafi'i bahkan bisa dilacak sejak genealogi keilmuan yang Imam Syafi'i yang banyak dipengaruhi metode tasybih dalam ilmu balaghah yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Faramdi (w. 170 H) dan dilanjutkan oleh muridnya, Sibawayhi (w. 180 H). Menurut Muhammad 'Abid Al-Jabiri, keduanya banyak terinspirasi logika Aristoteles dalam menyusun gramatika bahasa Arabnya secara umum.
 Akhirnya, tertib logika, di mana salah satunya yakni tertib silogisme dalam hal ini merupakan bagian dari doktrin istiqomah (konsistensi) dalam Islam. Tanpa konsistensi, sebuah bangunan peradaban (Islam) semegah apapun, akan rapuh, mudah diruntuhkan oleh serangan-serangan rasional dari peradaban lain.
ByHusein Ja'far Al Hadar
Sumber: syiarnusantara.id