Mohon tunggu...
Humaniora

Mengapa Gus Dur Membela Warga Indonesia Beretnis Tionghoa

17 Februari 2018   17:24 Diperbarui: 17 Februari 2018   17:37 2170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: syiarnusantara.id

Pembelaan KH. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur terhadap warga Indonesia beretnis Tionghoa tertunda di lain keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Melalui Kepres itu, Gus Dur selaku Presiden Republik Indonesia Keempat, berhenti restriksi rezim Soeharto terhadap warga Indonesia beretnis Tionghoa, lalu ruang gerak mereka. Yang jadi pertanyaan: mengapa Gus Dur orang Indonesia beretnis Tionghoa?

Menurut penulis, latar belakang pembelaan Gus Dur pada warga Indonesia beretnis Tionghoa berlapis-lapis. Ada alasan yang diutarakan oleh Gus Dur, ada pula yang tidak diucapkannya. Ada alasan yang sedang sosial-kekinian, ada yang kepentingan historis-pribadi.

Salah satu alasan yang muncul Gus Dur dalam kesatuan warga Indonesia beretnis Tionghoa adalah hak hak manusia. Sejak Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, warga Tionghoa tidak dapat menggunakan nama asli, tidak bisa memakai ujaran dan aksara Mandarin, tidak bisa masuk budaya dan keyakinan di ranah publik, dan mendapat tanda khusus di kartu identitas yang pada titik tertentu merugikan. Bagi Gus Dur, Inpres Soeharto itu melanggar hak asasi manusia, jadi harus dihapus.

Itu alasan Gus Dur yang terungkap dan sedang-kritis-mengkini dalam pembelaannya terhadap warga indonesia beretnis Tionghoa. Karena alasannya yang terungkap juga, namun pribadi adalah pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa.

Di beberapa kesempatan, Gus Dur mengaku sebagai keturunan Tan Kim Han. Muslim Tionghoa yang disebut juga sebagai Syekh Abdul Qadir ash-Shini itu adalah ipar Raden Fatah, alias Tan Eng Hwa (raja pertama Kesultanan Demak), karena menikah dengan Tan A Lok (saudari Raden Fatah) yang notabene anak Raden Brawijaya V (Raja Majapahit) dan selir dari Campa. Karena merasa sebagai bagian dari orang Tionghoa, maka tak mengherankan bila Gus Dur tentukan saudara-saudaranya seetnis.

Tapi, alasan pribadi Gus Dur tak sebatas itu. Ada alasan pribadi yang tidak dikemukakan oleh Gus Dur, tapi merupakan hal yang subtansial dan berefek universal, yaitu nama asli Gus Dur: Abdurrahman. Secara harfiah nama itu berarti 'hamba yang maha pengasih'. Ada dua tradisi yang berkelindan dalam manifestasi nama itu yaitu tradisi Khonghucu dan tradisi Islam.

Dalam tradisi Khonghucu, ada tradisi Li (kesopanan) yang salah mengusik 'perbaikan nama-nama'. Guru Khong, alias Confusius, mengatakan: "Jika nama-nama tidak tepat, maka bahasa tidak sesuai dengan kebenaran yang ingin dilakukan. Jika bahasa tidak sesuai dengan kebenaran yang ingin dilakukan, maka pekerjaan tidak dapat dilaksanakan sampai berhasil. Karena itu, apa yang diucapkan tepat ya, dan apa yang bisa dilakukan dengan cara yang tepat pula. "

Selamat dari ungkapan di atas, tradisi Khonghucu pak keselarasan antara sesuatu yang dinamai dengan nama itu sendiri. Saat Gus Dur diberi nama Abdurrahman, yang berarti 'hamba Tuhan yang maha pengasih', maka ada semacam emperan untuk menebarkan sayang ke semua makhluk. Tuntutan itu tidak hanya ada dalam tradisi Khonghucu, tapi juga dalam tradisi Islam.

Ar-Ra mn adalah salah satu nama indah Tuhan ( asmul husn ). Bergambar dari ar-Ra m yang mengkhusus dalam penebaran sayang, Ar-Ra mn merupakan atribut penyebar kasih untuk segala hal tanpa terkecuali. Tuhan, misalnya, sebagai  Ar-Ra mn, tidak hanya menghadirkan sinar matahari bagi orang yang beriman kepada-Nya, tapi untuk siapa saja.

Di tradisi Islam, ada doktrin takhallaq bi akhlqillh : berperilakulah seperti perilaku Tuhan; tentu sesuai kemampuan manusia yang terbatas. Sejauh Gus Dur disebut Abdurrahman (hamba tuhan yang maha pengasih), maka ada semacam dorongan untuk 'meniru' Tuhan dalam memberikan kasih sayang ke semua pihak. Itulah alasan mengapa Gus Dur kerapidha pihak-pihak yang didiskriminasi di negeri ini (seperti warga Tionghoa, Ahmadiyah dll.), Meski Gus Dur sering dikecam karena pembelaannya itu. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun