Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Yerusalem, Kota Damai, dan Trump yang Mungkin Belum Diminum Obatnya

8 Desember 2017   04:46 Diperbarui: 8 Desember 2017   05:03 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: jerusalemthemovie.com

Yerusalem! Orang Yahudi menyebutnya "Yerushalayim", artinya "perdamaian". Orang Arab menyebutnya "Al-Quds", artinya "kudus, suci". Kota itu damai sejak namanya. Jika nama berarti doa, maka doa kita semua (Islam maupun Yahudi) adalah damainya kota itu agar tetap suci. Tak boleh ada penindasan di sana. Tak boleh ada darah tumpah di sana. Ia suci!

Jika persatuan dalam arti perdamaian itu membutuhkan kesatuan, maka Yerusalem jawabannya. Di tengah ragam perbedaan antara Yahudi, Kristen, dan Islam, maka di Yerusalem mereka bersatu. Siapa yang menyatukan? Tuhan! Tuhan ciptakan tiga situs suci ketiga agama itu di satu tempat itu.

Bagi Yahudi, Yerusalem adalah tempat Nabi daud mendirikan Kerajaan Yahudi. Di sana ada "Bait Suci Pertama" yang dibangun oleh putra Daud bernama Sulaiman (Salomo) dan "Bait Suci Kedua" yang dibangun Herodes yang kini tersisa "Tembok Ratapan" atau "Tembok Barat", tempat paling suci dalam spiritualitas Yahudi. Ia semacam "oase kesucian" yang tersisa dari agama Yahudi.

Bagi Kristen, Yerusalem adalah tempat Yesus hidup dan disalib. Di sana juga ada "Via Delorosa" (Jalan Kesengsaraan), yakni jalan yang dilewati Yesus menuju penyaliban.

Bagi Islam, di sana adalah lokasi berdirinya Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam, start Nabi Muhammad di-Isra' Mi'raj-kan.

Lihatlah, betapa indahnya Yerusalem itu. Jika umat Islam dari berbagai mazhab bisa bertemu, saling sapa dan dialog, serta berharmoni dalam satu kesatuan di pusaran Ka'bah dalam haji dan umrah, maka dalam cakupan lebih luas, umat Yahudi, Kristen, dan Islam bisa melakukan hal serupa di Yerusalem. Tak boleh ada tingkah pola yang mengoyak kesucian yang ada kota itu, baik kesucian Tembok Ratapannya Yahudi, Via Delorosa-nya Kristen, maupun Masjid Al-Aqsanya Islam. 

Saling menghormati, saling menjaga. Itu amanat-Nya. Seperti tak bolehnya ada tingkah pola Kerajaan Arab Saudi yang bisa mengoyak tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah semacam menghancurkan makam atau situs-situs suci di sana atau sekadar melarang-larang orang yang meyakini kesucian suatu tempat dan ritual untuk melakukannya di sana. Meskipun Kerajaan Arab Saudi sendiri tak meyakininya.

Maka, tak ada orang yang beragama dengan benar dan suci yang tak ingin kota itu damai. Betapapun caranya, singkirkan semua ego dan kepentingan, biarkan kota itu damai. "Saya meminta secara tulus kepada semua pihak agar tetap berkomitmen untuk menghormati "status quo" kota itu, sesuai Resolusi PBB," komentar Paus Fransiskus setelah mendengar pernyataan kontroversial Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) yang mau memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem yang itu berarti Yerusalem takkan lagi milik semua, melainkan milik Israel.

Namun, nafsu angkara dan kebengisan Zionisme-Israel (Zionis bukanlah orang Yahudi yang beragama Yahudi dengan benar dan tulus, melainkan memanfaatkan sentimen ras dan agama untuk kepentingan politiknya menjajah dan menguasai tanah Palestina) telah berhasil menekan atau memanfaatkan kebodohan Trump untuk mengoyak semua itu. 

Itu bukan hanya pelanggaran konstitusional terhadap Resolusi PBB dan bukan pula hanya pelanggaran politik, namun pelanggaraan terhadap kesucian agama-agama Semit. Itu adalah provokasi dan perang pada 14 juta umat Yahudi, 2,2 miliar umat Kristen, dan 1,6 miliar umat Islam di dunia. Ia memperluas ring konflik Israel-Palestina dari politik menuju agama juga. 

Bahkan, dalam kacamata iman, termasuk iman Kristen, itu adalah sikap lancang pada Tuhan yang mengamanatkan Yerusalem sebagai kota damai dan persatuan. Betapa bodoh dan busuknya itu bukan?! Ini menambah daftar kebodohan dan kebusukannya setelah beberapa waktu lalu menerapkan larangan umat Islam masuk AS. Dan ia menganggap semua itu solusi damai. Dalam bahasa kita sehari-hari: "Mungkin Bung Trump belum minum obatnya!"

Sumber: syiarnusantara. Id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun