Kaka Ester Pandiangan dan Bukunya 'Sebab Kita Semua Gila Seks'Â
Buku Sebab Kita Semua Gila Seks bukan sekadar judul buku, melainkan sebuah pernyataan berani yang menggoyang stigma masyarakat Indonesia terhadap seksualitas. Ester Pandiangan, dengan keberaniannya, memilih judul yang provokatif untuk mengajak pembaca melihat seks bukan sebagai topik yang harus disembunyikan di balik tirai kesopanan, melainkan sebagai bagian alami dari kehidupan manusia. Buku ini, yang diterbitkan pada 2021, menghadirkan kumpulan esai yang blak-blakan, menggabungkan pengalaman pribadi, observasi sosial, dan referensi ilmiah untuk membuka diskusi tentang topik yang sering dianggap tabu.
Ester Pandiangan menulis dengan gaya yang santai namun tidak kehilangan kedalaman. Buku ini tidak dirancang sebagai textbook ilmiah yang kaku, melainkan sebagai cerminan pengalaman sehari-hari yang relatable. Dengan bahasa yang lugas, ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa seks bukan hanya soal kenikmatan fisik, tetapi juga tentang dinamika sosial, emosi, dan bahkan risiko kesehatan yang sering diabaikan. Gaya bercerita ini membuat buku ini mudah dicerna, meskipun beberapa bagian terasa "gila" sesuai judulnya, yang justru menjadi daya tarik tersendiri.
Salah satu kekuatan buku ini adalah kemampuan Ester untuk menyentil stigma patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Ia menyoroti bagaimana perempuan yang membicarakan seks sering dicap "nakal", sementara laki-laki justru dianggap wajar melakukannya. Melalui esainya, Ester menggambarkan ketimpangan ini dengan tajam, seperti saat ia membahas bagaimana masyarakat lebih sibuk menggosipkan perselingkuhan ketimbang memahami pentingnya edukasi seks yang aman. Buku ini menjadi tamparan halus bagi norma-norma yang membelenggu kebebasan berekspresi, terutama bagi perempuan.
"Aku lebih mengapresiasi orang yang membayar PSK empat ratus ribu ketimbang orang yang traktir kopi tapi ujung-ujungnya minta seks."
Ester Pandiangan/Sebab Kita Semua Gila Seks
Ester tidak hanya berbicara tentang seks sebagai kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai topik yang membutuhkan pemahaman mendalam. Ia menyisipkan edukasi tentang penyakit menular seksual, seperti herpes simplex, dengan cara yang ringan namun informatif. Misalnya, ia membandingkan bagaimana istilah seperti "blowjob" lebih dikenal daripada "smegma", menunjukkan kurangnya literasi seks yang sehat di masyarakat. Pendekatan ini membuat pembaca tidak hanya terhibur, tetapi juga tercerahkan tentang pentingnya tanggung jawab dalam aktivitas seksual.
Buku ini juga menjadi cermin bagi realitas seksualitas di Indonesia, di mana topik ini sering ditutup-tutupi dengan dalih moralitas. Ester menyoroti bagaimana kurangnya edukasi seks formal membuat banyak orang mencari informasi dari sumber yang tidak valid, seperti pornografi atau obrolan teman. Ia juga mengkritik fenomena "jajan" atau seks di luar nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi, yang sering kali berujung pada risiko kesehatan dan sosial. Dengan kejujuran yang menyegarkan, Ester mengajak pembaca untuk menghadapi realitas ini secara terbuka.
Salah satu poin penting yang ditekankan Ester adalah bahwa seks harus didasarkan pada persetujuan bersama tanpa manipulasi. Dalam salah satu esainya, ia menulis, "Aktivitas seks seharusnya merupakan transaksi personal yang dilakukan atas persetujuan bersama, tanpa manipulasi" (hlm. 197). Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan tanggung jawab dalam hubungan intim, sebuah pesan yang relevan di tengah maraknya kasus kekerasan seksual dan eksploitasi. Buku ini mendorong pembaca untuk memikirkan ulang dinamika hubungan mereka.
Selain narasi, buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi yang cukup "vulgar" bagi sebagian pembaca, yang menjadi bagian dari keberanian Ester dalam mendobrak batasan. Ilustrasi ini tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap visual, tetapi juga sebagai pernyataan bahwa seks adalah topik yang wajar untuk divisualisasikan, bukan sesuatu yang harus disensor. Meski beberapa pembaca merasa kaget, elemen ini justru memperkuat pesan buku bahwa seks harus dinormalisasi sebagai bagian dari diskusi publik.
Ester juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan konsep monogami, yang oleh beberapa ilmuwan dianggap sebagai bentukan sosial, bukan naluri alami manusia. Dalam esainya, ia menjelaskan bahwa manusia memiliki berbagai motif untuk berhubungan seks, tidak hanya untuk reproduksi seperti hewan. Perspektif ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat memandang hubungan dan seksualitas, serta bagaimana norma sosial sering kali membatasi kebebasan individu dalam mengeksplorasi kebutuhan mereka.
Sebab Kita Semua Gila Seks telah menuai berbagai respons dari pembaca. Ada yang memuji keberanian Ester dalam membahas topik sensitif dengan sudut pandang yang segar, sementara yang lain merasa beberapa pandangannya terlalu "berani" atau tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai pribadi mereka. Ulasan di Goodreads menunjukkan bahwa buku ini mendapatkan rating rata-rata 3,81 dari 220 ulasan, mencerminkan bahwa meskipun kontroversial, buku ini berhasil memicu diskusi dan refleksi mendalam tentang seksualitas. Pembaca diajak untuk memilah sendiri mana yang relevan bagi mereka.
"Seks yang baik dan bertanggung jawab memerlukan izin. Saat seks digunakan untuk menindas dan menaklukkan, itu pemerkosaan."
Ester Pandiangan - Sebab Kita Semua Gila Seks