Mohon tunggu...
Syarifuddin Usman
Syarifuddin Usman Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Membaca, Meneliti dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Maksimalis Vs Minimalis

26 Februari 2024   15:53 Diperbarui: 26 Februari 2024   16:01 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politisi Maksimalis Vs Minimalis

Setiap menghadapi momen kontestasi mulai dari Walikota, Bupati hingga Gubernur, masyarakat kita (terutama Maluku Utara ) terlalu gampang terpesona oleh keaktoran seorang kandidat yang di kemas dalam retorika  dan selebrasi politik ketimbang ide atau gagasan yang di usung sang kandidat. Akibatnya, masyarakat kita tak memiliki  penilaian untuk menjatuhkan pilihan karena alasan rasional. Tak heran, Ruang politik yang dijejali para kandidat selalu riuh, gegap gempita penuh bingar tapi senyap pada gagasan yang andal. Entah apa gagasan brilian yang diusung - baik oleh petahana maupun para penantangnya. Yang kerap terdengar hanya ritual puja-puji pada sang kandidat karena alasan ini atau itu. Bukan pada ide-ide besar yang diproduksinya. Mungkin benar apa yang dicemaskan aktivis Lingkungan, Munadi Kilkoda yang berceloteh di Akun FB nya, bahwa pemimpin negeri ini malas berpikir dan abai melakukan hal-hal besar. Gerundelan Munadi yang juga ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini diungkapkan karena "terluka" mendengar kabar Provinsi Riau mendeklarasikan sebagai provinsi Sagu. Lebih jauh ia menulis; setelah Riau menangkap momentum menjadi provinsi Sagu, besok-besok Sulteng/Sulut bisa mengambil momentum menetapkan sebagai provinsi rempah.

Jika Sagu, rempah dan keunggulan lain yang merupakan identitas daerah ini sudah diklaim oleh Provinsi lain, maka keunggulan apa yang masih tersisa bagi daerah ini untuk diperjuangkan? Adakah para kandidat dan bakal calon Gubernur merespon ini dengan serius dan sungguh-sungguh? Sampai sejauh ini belum ada yang merespon kecuali bertambahnya Spanduk dan Baliho para kandidat yang dipajang untuk menebar pesona.

Ruang politik memang memungkinkan munculnya keterpesonaan pada setiap kandidat. Dan hal itu bukan sesuatu yang salah dan di larang dalam setiap kontestasi politik. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika; Dinamika Politik dalam Era Virtualitas (2005), terbukanya ruang politik ikut terbuka juga manipulasi diri yang menggiring pula pada kondisi banalitas politik, yaitu menjelmanya ruang politik menjadi ruang hidup bagi berbagai bentuk pendangkalan, keremehtemehan, dan kerendahan. Baik pada tingket ide, bentuk, penampakan maupun representasi simboliknya, ruang politik tergradasi ke dalam bentuk-bentuk ke dalam bentuk-bentuk yang banal. Banalitas politik akhirnya melahirkan identitas yang banal. Figur-figur politik ditampilkan dengan identitas murah senyum, wajah tampan, penampilan modis, sebagai sinterklas dan citra image lainnya yang artifisial. Artinya, identitas dan atribut-atribut banal ini yang sesungguhnya tak esensial, kini dianggap lebih menentukan (dalam pilihan politik), ketimbang atribut atribut esensial dan prinsipil (seperti profesionalitas, kepemimpinan, intelektualitas, kejujuran dan tanggungjawab)

Dalam wacana ruang public baik oleh Hannah Arendt maupun Jurgen Habermas (2005) menyebut ada ruang public; maksimalis dan minimalis.  Ruang Publik Maksimalis adalah ruang public yang tinggi kuantitas maupun kualitas kepublikannya dalam pengertian mempunyai kapasitas dan kualitas maksimal menampung kepentingan murni public. Sementara ruang public minimalis yaitu ruang public yang minimal tingkat kepublikannya, dalam pengertian mempunyai kapasitas dan kualitas rendah dalam menampung kepentingan murni public.

Ruang publik maksimalis dan minimalis ini meminjam pandangan Christopher Lasch dalam The Minimal Self (2005) juga berlaku pada actor politik; minimalis dan maksimalis. Actor politik minimalis adalah actor yang mempunyai sifat narsistik di dalam dirinya, dalam pengertian kecenderungannya merayakan citra dirinya (yang palsu) di hadapan public, yang untuk itu diperlukan sebuah panggung atau layar (Baliho) yang melaluinya diharapkan setiap orang mengapresiasi citra palsu dirinya.

Masih menurut Christopher Lasch, Ruang public politik tidak saja membutuhkan aktor-aktor yang aktif, cekatan dan dinamis di dalam berbagai aktivitas komunikasi dan tindakan politik, tetapi lebih penting lagi mempunyai sensibilitas dan selera yang memadai. Sensibilitas berkaitan dengan kapasitas untuk mengapresiasi, membedakan, menilai, mengklarifikasi dan menghayati sesuatu menyangkut tingkat esensinya. Selera adalah kategori-kategori yang dihasilkan berdasarkan tingkatan sensibilitas tersebut.

Dalam konteks politik, dapat dikatakan bahwa politik berselera tinggi adalah politik yang mampu berhadapan dengan tingkat abstraksi yang tinggi; mampu menganalisis dengan tingkat kompleksitas tinggi; mampu mengembangkan sintesis politik secara kreatif dan inovatif. Politik berselera tinggi dengan demikian, adalah politik yang menuntut tingkat intelektualitas, analisis, pemahaman, penafsiran, perasaan dan apresiasi yang tinggi melaluinya berbagai ide gagasan, kreatifitas dan menyegarkan mampu dihasilkan. Sebaliknya politik berselera rendah mengandalkan diri pada bentuk-bentuk popular, permukaan, artificial, dan dangkal. Yang didalamnya tidak diperlukan tingkat intelektualitas, analisis, pemahaman, penafsiran dan apresiasi yang tinggi.

Seyogyanya, ruang politik diperankan oleh aktor-aktor politik maksimalis yang memiliki kompetensi, intelektualitas, kepemimpinan, kejujuran, keterpercayaan, keadilan dan moralitas. Bukan aktor politik minimalis yang hanya menampilkan pesona citra karena syahwat dan libido kuasa.

Sepantasnya juga, arena Pilkada menjadi ajang kontestasi adu gagasan dalam hal program kerja yang menarik masyarakat ketimbang membangun fitnah dan isu antar kandidat dan pendukungnya. Adu gagasan dan program jauh lebih rasional dan efektif merebut magnet ektoral masyarakat dan menguasai ruang opini public. Calon gubernur dan wakil gubernur harus menambah daya jelajah dan eksplorasi apa saja yang menjadi keunggulan, visi dan misi, serta program yang dilakukan untuk disajikan jadi menu publik.

Untuk itu, arena Pilkada sesungguhnya kesempatan untuk menawarkan ide, gagasan, program terbaik untuk kemajuan Maluku Utara.  Selebihnya adalah berikhtiar, apakah kita yang menjadi pilihan atau bukan ! []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun