Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor yang mencapai 32% terhadap produk-produk asal Indonesia. Keputusan ini menarik perhatian karena dampaknya segera dirasakan oleh sektor-sektor strategis dalam perekonomian Indonesia, khususnya industri tekstil, alas kaki, dan elektronik. Kebijakan ini merupakan bagian dari perseteruan dagang yang telah berlangsung selama beberapa tahun, di mana AS terus memperketat regulasi perdagangan internasionalnya.
Kebijakan ini tidak muncul tanpa alasan. Dalam pernyataan resminya, Trump menjelaskan bahwa Indonesia dianggap melakukan praktik perdagangan yang tidak adil. Ia mengungkapkan kekhawatiran mengenai tarif tinggi yang diterapkan pada produk-produk AS, seperti etanol, yang mencapai 30%. Selain itu, kebijakan domestik seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan aturan mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) dinilai menghambat akses produk luar ke pasar Indonesia.
Namun, kebijakan tarif ini tidak hanya mencerminkan konflik dagang antara kedua negara, tetapi juga menggambarkan bagaimana sistem ekonomi global saat ini sedang menghadapi ketidakpastian dan ketegangan yang semakin meningkat, sejalan dengan kebijakan fiskal yang diambil oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
"Kita Harus Evaluasi Strategi Dagang" -- Zulkifli Hasan
Dalam sebuah video yang diunggah oleh Kompas TV, Menteri Perdagangan Indonesia, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa meskipun Indonesia tidak secara langsung terlibat dalam kebijakan tarif tersebut, dampaknya tetap dirasakan. Beliau menekankan pentingnya melakukan diplomasi dan lobi di tingkat internasional demi menjaga daya saing produk-produk Indonesia, terutama mengingat bahwa pasar Amerika Serikat merupakan salah satu tujuan ekspor yang utama. sistem ekonomi global digambarkan layaknya sebuah pesta besar yang dipimpin oleh Amerika Serikat, kebijakan tarif ini mencerminkan perubahan mendalam dalam cara AS berinteraksi dengan negara-negara lain.
Ketergantungan yang Membuat Rentan
Ketika Dua Negara Adidaya Bertarung Lewat Tarif, Negara Berkembang Seperti Indonesia Sering Menjadi Korban. Dalam arena perdagangan internasional, perhatian selalu tertuju pada dua negara adidaya: Amerika Serikat dan China. Perang dagang yang semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya sekadar persaingan ekonomi biasa, melainkan juga sebuah pertarungan untuk meraih dominasi di kancah ekonomi global. Dalam proses ini, kedua raksasa ini saling mengenakan tarif tinggi sebagai senjata untuk melindungi industri domestik mereka. Namun, di tengah konflik besar ini, seringkali terabaikan sosok pihak ketiga: negara-negara berkembang.
Sebagai salah satu negara berkembang terbesar di dunia, Indonesia tidak bisa terhindar dari dampak kebijakan perdagangan yang ditetapkan oleh negara adidaya tersebut. Ketika kebijakan tarif AS, di bawah kepemimpinan Donald Trump, diterapkan kembali dengan besaran mencapai 32% untuk produk-produk Indonesia, sektor-sektor tertentu di tanah air harus menghadapi tantangan berat. Terutama di industri tekstil, alas kaki, dan elektronik yang sangat bergantung pada ekspor ke pasar AS. Kenaikan tarif ini menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang berdampak langsung pada daya saing Indonesia di pasar global.
Mengapa Negara Berkembang Sering Terjebak?
Dalam situasi di mana dua kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China bersaing, negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali menjadi pihak yang dirugikan. Keterbatasan ini muncul karena negara-negara seperti Indonesia tidak memiliki pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh raksasa-raksasa tersebut. Dengan ketergantungan yang cukup besar pada ekspor, Indonesia harus menerima dampak dari kebijakan yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan ekonominya.
Ketergantungan ini menyoroti betapa pentingnya diversifikasi pasar dan kemandirian ekonomi bagi suatu negara. Ketika Indonesia bergantung pada pasar Amerika dan China, kedua negara tersebut memiliki kontrol yang kuat atas arus perdagangan global, yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia. Jika mereka menerapkan kebijakan proteksionis, dampaknya akan langsung dirasakan oleh negara berkembang seperti Indonesia, yang dapat mengalami penurunan ekspor, pelambatan pertumbuhan industri, bahkan pengurangan lapangan kerja.