Aku perempuan. Dan seperti banyak perempuan lainnya, aku hidup dengan naluri merawat, mencinta, dan menjaga kehidupan. Tapi hari ini, naluri itu berontak melihat bagaimana perempuan-perempuan di Palestina kehilangan segalanya anaknya, suaminya, rumahnya, bahkan tubuhnya yang remuk dihantam oleh bom.
Aku tidak bisa diam. Tidak akan. Karena diam adalah bagian dari pengabaian. Diam adalah pengkhianatan terhadap nurani dan kemanusiaan.
Di balik layar ponselku, setiap hari kulihat video anak-anak yang berdarah, ibu dan juga para ayah yang menggenggam jenazah kecil, dan gadis-gadis yang tumbuh tanpa masa depan. Mereka tak meminta kita datang membawa senjata. Mereka hanya ingin dunia melihat dan mendengar.
Di balik reruntuhan Gaza, banyak perempuan Palestina yang menjadi simbol keberanian. Mereka bukan hanya bertahan, tapi juga tetap mendidik, merawat, dan merawat harapan. Mereka kehilangan keluarga, tetapi tidak kehilangan kekuatan.
Baca juga: Suara Perempuan, Warna Dunia
Seperti Umm Nidal, seorang ibu Palestina yang kehilangan tiga anaknya dalam perjuangan melawan penjajahan, tapi tetap berkata:
"Aku telah menyerahkan mereka bukan untuk mati, tapi untuk membela tanah dan kehormatan kami."
Lalu, mengapa banyak dari kita justru memilih bungkam?
Aku percaya, suara perempuan memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan. Lembut, tapi menembus hati. Halus, tapi bisa mengguncang dunia. Kita tidak harus berada di medan perang untuk berjuang. Kita bisa menulis, berbicara, mengedukasi, dan berdiri di barisan paling depan menyuarakan kebenaran.
Kita bisa menggunakan media sosial bukan untuk tren semata, tapi gunakan sosial media untuk menyuarakan penderitaan mereka. Kita bisa mengangkat kisah para perempuan dan tokoh Palestina yang berani, yang tetap berdiri meski dunia mencoba meruntuhkannya. Kita bisa menunjukkan pada dunia bahwa kepedulian adalah bentuk cinta paling nyata.
Seperti kata Ghada Karmi, seorang dokter dan aktivis Palestina:
"The voice of a woman is not a weapon of war, but it can be a weapon of truth."
("Suara seorang perempuan bukanlah senjata perang, tetapi bisa menjadi senjata kebenaran.")