Mohon tunggu...
Ifha Sajja
Ifha Sajja Mohon Tunggu... -

Saya jurnalist Perempuan, suka bertualang di alam bebas dan slalu tertarik mencoba hal-hal baru. lahir dan besar di Luwuk. Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, namun ingin bertualang ke seluruh Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ketika Program Pendidikan Negara Tidak Sampai Ketengah Hutan

22 November 2014   13:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:08 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan pendidikan di Skola Lipu. Selain diajarkan baca tulis hitung (Calistung), mereka juga diajarkan Bahasa Indonesia dan matematika. Foto: Dokumentasi YMP

Sejak hadirnya Skola Lipu, sebagian besar anggota komunitas Tau Taa Wana sudah dapat membaca dan menulis. Proses belajarnya juga unik. Kadang dilakukan di kolong rumah ladang, di halaman rumah, tak jarang di sela menumbuk padi. Peserta belajar dapat menjadi guru bagi teman belajarnya. Bagi mereka setiap tempat adalah ruang belajar.

Menurut Badri, sedikitnya ada dua staf YMP yang mendampingi kegiatan pendidikan alternatif ini. Mereka berada di lapangan dua hingga tiga bulan. Materi pelajaran ada yang bersifat umum seperti baca, tulis, hitung, serta Bahasa Indonesia, dan matematika. Ada juga pelajaran lingkungan, organisasi, dan eksplorasi kearifan lokal. “Bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah,” jelasnya.

Komunitas Tau Taa Wana dengan model pendidikan alternatif, Skola Lipu. Foto: Dokumentasi YMP

Karakteristik sosial

Azmi Siradjudin, Koordinator Program Hutan dan Iklim Yayasan Merah Putih, menambahkan jika dilihat dari karakteristik sosialnya Tau Taa Wana atau dikenal dengan To Wana, dikategorikan sebagai “Masyarakat Adat”.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-undang disebut sebagai “Masyarakat Hukum Adat” tetapi Kementerian Sosial lebih senang menamakannya “Komunitas Adat Terpencil” (KAT). Yaitu, kelompok sosial budaya yang besifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Menurut Azmi, apapun istilah yang di pakai, yang pasti karakteristik sosial yang digambarkan oleh seluruh pengguna istilah tersebut, menandai komunitas Tau Taa Wana ini. Meski, pola interaksinya mulai cenderung terbuka. “Tapi, umumnya komunitas adat Tau Taa berbentuk komunitas kecil, homogen, dengan pranata sosial yang bertumpu pada lembaga kekerabatan,” terangnya.

Saat ini, sekitar 3.000-an kepala keluarga tersebar di 23 lokasi dalam wilayah Kecamatan Ampana Tete dan Ulubongka, Kabupaten Tojo Una-una, serta Kecamatan Bungku Utara dan Mamosalato, Kabupaten Morowali. Dari jumlah itu, sebanyak 1.161 kepala keluarga sudah tersentuh program pemberdayaan, selebihnya belum.

Mereka terbiasa hidup harmoni dengan alam. Kepada alam  mereka bersikap ramah, tidak merusaknya. Filosofi mereka, gunung adalah badan atau kehidupan sementara sungai adalah jiwa. “Mereka tidak ingin merusak hutan dan sungai karena akan merusak badan dan jiwa mereka,” pungkas Azmi.

Di Skola Lipu, bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah. Foto: Dokumentasi YMP

Penulis : Syarifah Latowa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun