Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negara dalam Keadaan Darurat

3 Januari 2021   13:23 Diperbarui: 3 Januari 2021   13:37 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkahnya terperangkap oleh sepi yang tiba-tiba saja menyeruak masuk dalam kepala. Suara riuh manusia di sekitar, seperti gelombang sunyi yang tengah memebincangkan semua hal asing. Dia terdiam sendiri menekuri diri setelah sekian jarak telah dikayuhnya dengan dua belah kaki. Dia berhenti di depan gedung megah. Tinggi menjulang dipenuhi dengan kaca, lampu-lampu bulat yang berjajar sengaja ditata dengan perhitungan tertetentu. Meja-meja dan kursi didesain agar masing-masing memiliki privasi meski dalam satu area terbuka.

Waktu masih begitu remaja, matahari malu-malu mengintip di balik gedung-gedung yang lebih rendah di belakang. Jeleret sinarnya mengenai kaca-kaca yang melapisi muka gedung itu. Sekilas, bayang-bayang kota tampak tergambar dalam bayang-bayang kaca di hadapannya.

Manusia di luar dirinya bergerak cepat. Hal pembicaraan mungkin sudah berganti dari berbagai tema, kendaraan, keluar masuk dalam rongga samping yang mengarah ke basement. Dan dunia di belakangnya bergerak begitu cepat. Namun waktu dalam kepalanya seperti tengah berhenti dan sedikit bergidik. Bergetar dan diam membeku. Waktu mati.

Matanya masih menerawang jauh ke dalam. Ada sesuatu yang tengah ia tunggu. Detik waktu. Seseorang yang dia tidak tahu siapa, hanya saja yang pasti orang yang ditunggu adalah bagian dari kawan-kawannya. Dia akan membawakan sesuatu. Sesuatu yang harus ia bawa dan antarkan kepada seseorang, tepat pada waktu yang pasti untuk menyampaikan pesan rahasia. Tiba-tiba hatinya berdesir, mengulang kata rahasia dalam hati. Rahasia. Seberapa rahasiakah pesan itu yang harus ia sampaikan. Dan siapa yang memberikan pesan itu, dan kepada siapa pesan itu harus ia sampaikan. Yang ia tahu, orang itu telah ada di depannya. Dalam menunggu hatinya terus bergumam.

***

Ini adalah tugas khusus. Tidak semua orang bisa melakukannya. Dan hanya aku yang katanya bisa melakukan. Hanya aku seorang yang bisa menyelamatkan moral dan nalar bangsa ini yang sudah kian ambruk dan luruh di bawah laras kuasa modal dan keserakahan. Aku akan menjadi penentu. Karena aku tidak dikenal siapapun. Dan aku melakukan ini bukan karena aku ingin dikenal kemudian oleh semua orang. Aku hanya ingin mereka semua sadar. Selama ini mereka dibohongi dan terjebak dalam lingkaran yang mereka sangka sebagai kenyamanan. Tak ada keberanian untuk kembali berontak. 

Sejarah telah menjadi bahan usang yang tak layak baca, bahkan dilirikpun jangan. Mata mereka seolah akan katarak jika berani melirik saja teks dan kenyataan sejarah masa lampau. Dimana mereka menghargai para pejuang, yang mereka bahkan tak melalui uji pendaftaran. Mereka dengan suka rela meneteskan darah demi negeri ini meski dengan konsekuensi nyawa. Itu berarti dia siap untuk tidak menikmati hasil upayanya. 

Dan saat ini, mestinya semangat itu yang kita bangkitkan. Bukan semangat papan nama. Siapun boleh berbuat amal, asal atas nama saya. Siapapun boleh berkorban asal saya yang memperoleh pujian. Semangat macam apa ini. Semua orang berebut bicara untuk mengatakan dirinyalah yang terbaik, yang paling benar dan paling patut dijadikan pemimpin. Namun saat memimpin, bukan rakyat yang memilih yang diperhatikan justru kelurga dan kelangsungan kuasanya. Sementara rakyat sendiri tidak pernah berontak. Bahkan mengaku tanang karena sekarang setiap bulan dibantu dengan sumbangan ini dan itu. 

Ini adalah penjajahan yang menistakan. Secara perlahan rakyat dikerdilkan mentalnya. Secara masif, rakyat dicekoki dengan stablitas. Secara nyata rakyat dibajak hak suaranya. Dan ironisnya, mereka, para rakyat yang mestinya berontak, justru menerima nasib sebagai orang yang tersisih.

Aku hampir tidak memiliki harapan. Miris menangis sendiri dalam hati saat kulihat pejabat negara yang merunduk-runduk di hadapan kuasa dunia. Padahal kurang apa bangsa raya ini. Semua tersedia, gas, minyak, batu bara, bahkan tenaga kerja yang siap mengucurkan keringat seharian untuk makan hari esoknya, negara ini memiliki cukup banyak. Tapi kita tidak memiliki mental kesatria. Kita memiliki mental rendah, yang selalu merendahkan diri dihadapan manusia-manusia asing itu. Lihat saja, berapa rupiah telah lunas dihabiskan untuk menghadirkan orang-orang putih itu. Bukan untuk apa, hanya bermain-main. Kita lebih malu disangka miskin. Lebih baik disangka makmur meski nyatanya miskin. Tidak kutemui apapun kecuali kepalsuan. 

Negara hanya pandai mengumpul pajak. Semua peraturan dibuat dewan hanya untuk mengansitisipasi kebocoran kekayaan negara. Jika negara kaya, disangkanya rakyat akan menjadi kaya. Tidak. Bukan itu yang terjadi di sini. Uang negara habis hanya untuk upah buruh-buruh malas dikator pemerintahan sepanjang tahun. Sementara lebih banyak pekerja yang berkeringat di sepanjang jalan, masih harus urunan hanya untuk menopang upah pejabat. Ini yang disebut dengan keadilan? Aku sangsi bahwa negara ini bisa bangkit. Bahkan sekedar untuk membeli baju sendiri, kukira takkan bisa. Barang kali bisa, tapi terlanjur tak punya malu. Buat apa baju, jika malu yang kita tutupi tak pernah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun