Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rapuh

4 September 2020   11:13 Diperbarui: 4 September 2020   11:08 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Anda pernah mendengar istilah BULLYING. Secara sederhana istilah tersebut bisa dipersamakan dengan kekerasan. Di tengah demam kampanye atas perlindungan anak, istilah kekerasan pada anak begitu populer. TV lagi-lagi menjadi media yang cukup efektif untuk menyebarkannya.

Peristiwa anak dipukuli ortu-nya sendiri, dinakali kawan-kawannya saat bermain, dihukum lari keliling lapangan karena terlambat masuk sekolah, sampai pada kasus yang cukup mencengangkan, yaitu kematian karena tawuran, atau banyaknya aksi bunuh diri anak remaja karena masalah dalam pergaulannya, entah itu karena diejek, atau malu karena ketiadaan uang untuk membayar LKS.

Mungkin tidak setiap kita menjadi orang tua, tetapi pastilah bahwa setiap kita pernah menjadi seorang anak. Siapa yang pada masa kanak-kanaknya tidak pernah menangis karena ulah kawan-kawan bermainnya? Mungkin tidak ada diantara kita, bukan? Tetapi sekarang jika ada anak pulang sekolah dengan menangis, bisa panjang urusannya. Bukan saja akan menjadi masalah antar orang tua, bahkan bisa menjadi urusan aparat jika perlu.

Sekilas, keadaan tersebut terkesan mengada-ada. "Namanya juga anak-anak", mungkin kita akan berdalih demikian jika ada anak pulang sekolah nangis karena dinakali kawannya. Tapi kemudian saya teringat seorang kawan dulu pernah bercerita tentang butterfly effect. Suatu peristiwa kecil yang berjarak begitu jauh, baik dalam arti lokasi maupun dalam arti jarak waktu, bisa saja memiliki pengaruh pada setiap inci peristiwa yang kita alami sekarang ini.

Dalam sekejap saya mengiyakan saja, toh kenyataannya kita sekarang ada juga karena dahulu melalui proses yang cukup "sederhana" bukan? Selain itu, tidak sulit kita terima bahwa peristiwa kecil seperti jatuhnya buah apel di atas kepala seseorang yang tidak kita kenal di tempat yang tidak kita tahu persis, ternyata begitu besar pengaruhnya pada hidup manusia saat ini.

Anak-anak sekarang sebenarnya merupakan masa lalu kita para orang dewasa. Bagaimana cara kita memperlakukan anak-anak adalah cerminan bagaimana kita dahulu ketika semasa anak-anak. Bisa berupa pengulangan atau justru kebalikannya.

Seorang kawan yang memiliki anak berumur lima tahun, yang lagi lucu-lucunya, dia memberikan keluasan pada anaknya untuk bermain apa saja. Jikapun dia berbuat nakal, kawan saya tidak pernah memarahinya. Dia menjelaskan kepada saya, "Ketika kecil dahulu, ayahku selalu marah dan kalau perlu memukulku ketika aku berbuat sesuatu yang tidak ia sukai. Aku ingin melawan, tapi tidak berani. Dan tahukah kamu, bagaimana beratnya aku berjuang untuk berani melawan? Biarlah cukup aku yang bersusah payah menumbuhkan keberanian. Anakku harus hidup dengan berani."

Dengan nakal kemudian saya berceloteh, "Kita ini mungkin generasi transisi sehingga begitu aneh tingkahnya. Ketika kecil kita suka berkelahi, saling ejek, bahkan sering tawuran antar geng waktu sekolah, toh kita baik-baik saja sekarang. Bahkan saya melihat orang dengan latar belakang yang gelap, saat dewasa mampu bangkit dengan mental yang lebih matang. Tapi sekarang kita begitu khawatir dengan anak-anak kita."

Mungkin kita menilai anak-anak sekarang adalah generasi yang begitu rapuh, sehingga tidak ada sedikitpun masalah boleh menyentuh mereka. Mereka harus disayang, dilindungi, sedihpun jangan, apalagi sampai menangis dan terluka.

Pada akhirnya kawan saya yang seorang guru berfatwa,

"Jika kita hendak melindungi anak-anak dari kekerasan lingkungannya, kita harus menjaganya 24 jam. Mungkin sebaiknya kita bekali saja anak-anak kita itu ketahanan diri untuk menghadapi semua bentuk kekerasan itu, sehingga mereka menjadi generasi yang tidak cengeng." Ini hanya sebutir buah pikir orang dewasa, dan mungkin itulah salahnya. Kita lebih sering menyelesaikan masalah anak-anak secara dewasa, bukan dengan cara anak-anak yang seringkali lebih sederhana dan efektif.

Syarif_Enha@JambidanKidul, 12 April 2012
*pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun