Dari perkataan dan kisahnya, Rumi mengajarkan kepada kita untuk melepaskan diri dari pengharapan kepada selain Allah. Segala apa yang kita perbuat kita tujukan kepadaNya, sehingga hanya Allah kelak yang akan menilai takaran balasan yang sepadan. Apalah manfaat dari ucapan terimakasih dan untaian kata pujian, jika hanya akan merusak niat dan keihlasan kita.
Dalam bahasa yang lebih lugas, Rumi seperti ingin berkata: Jika anda dalam berbuat masih mengharap terimakasih dan pujian dari manusia, maka sejatinya anda tidak mendapatkan apa-apa dari Allah SWT selain terimakasih dan pujian dari manusia tersebut.
Pelajaran Rumi di atas, dalam tingkat budaya sosiologis, ada baiknya kita posisikan sebagai nasehat bagi semua orang yang ingin berbuat baik. Agar mereka dengan tulus ikhlas melepaskan segala pretensi pamrih kepada manusia. Sehingga ketika dalam kenyataan tidak ada yang berucap terimakasih atau memuji, dia tidak pernah merasa tersakiti.
Sementara bagi orang yang menerima kebaikan atau menyaksikan keberhasilan orang lain, janganlah berterimakasih atau memuji dengan berlebihan. Sehingga hubungan kehidupan sosial kita tetap terjaga dengan harmonis, tanpa merusak nilai niat ikhlas serta pahala dari orang yang telah berbuat kebaikan.
Mari kita berkaca, adakah kebaikan yang selama ini kita lakukan, benar-benar demi Allah, atau karena mengharap pujian dan terimakasih orang lain. (Syarif)
*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 5 tahun I, Oktober 2009