Ada sebuah kisah menarik tentang Nasruddin. Suatu ketika dia berjalan-jalan di pinggir kolam dan hampir terjatuh. Tapi beruntung ada kawannya yang berhasil menolong sehingga dia tidak benar-benar terjatuh. Setelah peristiwa itu, setiap kali Nasruddin ketemu dengan kawan yang menyelamatkannya itu, kawannya itu selalu mengatakan kebaikannya menolong dirinya.Â
Jika tidak karena dirinya, Nasruddin pasti sudah terjebur beneran. Kejadian itu terus berulang membuat Nasrudin muak. Hingga suatu hari di dekat kolam, Nasruddin bertemu dengan kawannya itu. Serta merta Nasruddin lari dan menceburkan diri ke kolam. Saat kawannya datang menghampiri Nasruddin berteriak sengit, "Sekarang kau lihat. Aku sudah benar-benar jatuh, mulai sekarang hentikan bualanmu itu!"
Begitulah. Barang kali orang sering memisahkan antara intelektualitas dengan akhlaq. Tetapi untuk dapat menilai dengan benar, kita butuh kesatuan dua-duanya. Kebaikan yang dilakukan dengan keliru tanpa pengetahuan juga tidak akan banyak berarti, begitu kepandaian tanpa akhlaq, akan menjadi bumerang.Â
Boleh saja seorang berjasa atas orang lain untuk kesuksesannya. Tetapi bukan suatu yang bijak jika setiap saat kita menyebutnya terus menerus. Jika tidak, maka tunggulah akan ada seorang anak yang melempari kita dengan mangga yang kemarin kita petikkan untuknya.
Jika saya ikut digolongkan pada empat kelompok orang yang dibagi oleh ahli hikmah, mungkin saya tidak masuk salah satunya. Tetapi saya termasuk orang yang ke lima, yaitu orang yang tidak tahu diri, lebih buruk dari orang yang sekedar tidak tahu jika dirinya tidak tahu. Karena sudah saya jelas tidak pandai, masih suka mengatakan orang lain dungu pula.Â
Pesan saya terakhir, saat ada orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu memberi tahu anda sesuatu, pastikan anda segera tutup telinga atau buru-buru beranjak pergi. Karena jangan sampai anda menjadi seorang yang ke enam, yaitu orang yang tidak tahu kalau dirinya sedang ditipu. Hahahahaa...
Semarang, 21 Juni 2009