Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia dan Jasa Baiknya

23 Juli 2020   00:55 Diperbarui: 23 Juli 2020   00:43 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat kuliah Filsafat Ilmu, Dosen bertanya, mengapa kita memerlukan abstraksi dan definisi? Sesaat kami diam dan setelah agak lama tidak ada suara yang kaluar, akhirnya Dosen menjawab sendiri. "Karena segala sesuatu itu unik." katanya. Unik artinya berbeda dengan sesuatu yang lain. Dicontohkan dua buah kursi dengan merek dan kualitas yang sama, meski sekilas sama, tetapi secara detailnya akan kita temukan berbeda. 

Bahkan meski sama persis, kedua benda itu ada adalah dua eksistensi yang menempati ruang yang berbeda. Bagitu juga manusia. Bahkan kembar siam identik-pun tidak akan mungkin sama persis. Oleh karena itulah, kita memerlukan abstraksi untuk membangun sebuah definisi yang bersifat umum. Namun, unik yang saya tulis dalam judul di atas, bukan unik dalam pengertian tersebut, tetapi unik dalam arti tidak lazim atau umum.

Seseorang yang unik menurut saya, sangat mungkin tidak unik menurut orang lain. Sehingga tidak perlu ditanggapi begitu serius tulisan saya ini. Ya, anggap saja sebagai tulisan curhat tanpa kawan. Daripada-daripada menjadi lamunan yang nglangut, lebih baik saya tulis saja. Ini tentang seseorang yang tidak perlu saya sebut namanya.

Bagi saya, seorang yang disebut terpelajar adalah seorang dalam kategori yang dikatakan para ahli hikmah sebagai seorang yang tahu bahwa dirinya tahu. Mengerti bahwa dirinya mengerti. Sadar jika dirinya sadar. Sehingga dari kondisi tersebut, dia memiliki sesuatu yang dapat dibagi dengan orang lain. Tentunya dengan pengetahuannya.

Dari sini, akan menjadi aneh jika seorang yang dalam ukuran banyak orang adalah terpelajar, tetapi tidak memiliki ciri tersebut di atas. Maka saya terpaksa mengatakan aneh tadi. Atau kategori terpelajar adalah terpisah dengan pengertian dan kesadaran dirinya bahwa dia terpelajar? Agak membingungkan.

Begini saja. Apa yang akan kita katakan pada seseorang yang pandai misalnya, tetapi sikapnya, tindakannya, kata-katanya tidak mencerminkan kepandaiannya. Contoh konkret. Misalnya ada seorang yang pandai tetapi sombong. Pandai tetapi juga sok paling pandai. Pandai tetapi maunya menang sendiri. 

Pandai tetapi meremehkan dan menghinakan orang lain. Pandai tetapi ingin dilihat pandai. Mungkin ada yang akan mengatakan, itu hanya seorang pandai yang tidak berbudi. Seorang pandai tetapi berakhlaq buruk. Seorang pandai tetapi jahat. Jika demikian, maka pandai bukan berarti baik?

Saya kok merasa bahwa kepandaian itu tidak berarti apa-apa jika budi pekerti pemiliknya jongkok. Seorang yang pandai tetapi sombong, bagi saya kok menjadi amat bodoh dan bahkan mungkin lebih tepatnya dungu. Karena pada dasarnya dia sama dengan keledai yang membawa buku, tetapi tidak pernah dibaca dan dimengertinya. Sama saja dengan seorang yang pandai, tetapi dia justru mengaduknya dengan kotoran sikap dan perilaku. Itulah mengapa saya katakan aneh, antara pandai dan dungu ternyata sangat tipis.

Bolehlah seorang dikatakan jenius luar biasa bisa membuat mobil ampibi misalnya, tetapi jika itu membuat dia memiliki sikap dan pekerti yang rendah, maka pada hakekatnya dia tidak memiliki apapun, kecuali kekonyolan.

Misalkan tiba-tiba guru anda berkata, "ah kamu itu kan dulu murid saya. Meski sekarang kamu menjadi Presiden, secara intelektual berarti kamu lebih rendah dari saya." Kira-kira apa reaksi Anda? Apalagi jika kemudian guru anda itu mengatakan itu kepada semua orang, bahwa anda itu sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya, hanya karena dia pernah mengajar anda?

Jika saya yang mendapat perlakuan itu, mungkin saya akan tersenyum, mengangguk-angguk dan berterimakasih padanya. Karena memang tanpa dirinya mungkin saya tidak perlu tersenyum, manggut-manggut dan berterimakasih padanya saat ini.

Ada sebuah kisah menarik tentang Nasruddin. Suatu ketika dia berjalan-jalan di pinggir kolam dan hampir terjatuh. Tapi beruntung ada kawannya yang berhasil menolong sehingga dia tidak benar-benar terjatuh. Setelah peristiwa itu, setiap kali Nasruddin ketemu dengan kawan yang menyelamatkannya itu, kawannya itu selalu mengatakan kebaikannya menolong dirinya. 

Jika tidak karena dirinya, Nasruddin pasti sudah terjebur beneran. Kejadian itu terus berulang membuat Nasrudin muak. Hingga suatu hari di dekat kolam, Nasruddin bertemu dengan kawannya itu. Serta merta Nasruddin lari dan menceburkan diri ke kolam. Saat kawannya datang menghampiri Nasruddin berteriak sengit, "Sekarang kau lihat. Aku sudah benar-benar jatuh, mulai sekarang hentikan bualanmu itu!"

Begitulah. Barang kali orang sering memisahkan antara intelektualitas dengan akhlaq. Tetapi untuk dapat menilai dengan benar, kita butuh kesatuan dua-duanya. Kebaikan yang dilakukan dengan keliru tanpa pengetahuan juga tidak akan banyak berarti, begitu kepandaian tanpa akhlaq, akan menjadi bumerang. 

Boleh saja seorang berjasa atas orang lain untuk kesuksesannya. Tetapi bukan suatu yang bijak jika setiap saat kita menyebutnya terus menerus. Jika tidak, maka tunggulah akan ada seorang anak yang melempari kita dengan mangga yang kemarin kita petikkan untuknya.

Jika saya ikut digolongkan pada empat kelompok orang yang dibagi oleh ahli hikmah, mungkin saya tidak masuk salah satunya. Tetapi saya termasuk orang yang ke lima, yaitu orang yang tidak tahu diri, lebih buruk dari orang yang sekedar tidak tahu jika dirinya tidak tahu. Karena sudah saya jelas tidak pandai, masih suka mengatakan orang lain dungu pula. 

Pesan saya terakhir, saat ada orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu memberi tahu anda sesuatu, pastikan anda segera tutup telinga atau buru-buru beranjak pergi. Karena jangan sampai anda menjadi seorang yang ke enam, yaitu orang yang tidak tahu kalau dirinya sedang ditipu. Hahahahaa...

Semarang, 21 Juni 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun