Oleh : Syamsul Yakin ( Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ) dan Syarfa Kamila Ali ( Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta )
Indonesia bukanlah negara teokratis yang sepenuhnya berbasis agama, namun juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Pancasila menjadi dasar pijakan utama, sebagai titik temu antara nilai spiritual dan nasionalisme. Sayangnya, pemahaman ini lebih dikenal pada era televisi sebelum kehadiran internet. Seandainya lahir di masa kini, sangat mungkin akan viral sebagai penyeimbang narasi di media sosial, yang kini justru dipenuhi oleh konten dakwah radikal dengan berbagai karakteristiknya.
Dalam pengertian klasik, propaganda dipahami sebagai strategi untuk membentuk opini publik melalui manipulasi fakta. Menurut Haryatmoko, sistem informasi masa kini justru tidak jauh berbeda dari bentuk propaganda itu sendiri. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp menjadi lahan luas bagi penyebaran informasi yang tidak hanya benar, tapi juga yang keliru, menyesatkan, bahkan berbahaya secara ideologis. Muhajir Affandi menyebut bahwa media sosial kini menjadi medium utama penyebaran dakwah radikal menggantikan media konvensional.
Media sosial memiliki daya sebar luar biasa karena beberapa faktor. Pertama, euforia masyarakat terhadap media sosial yang sangat tinggi membuat hampir semua lapisan masyarakat terlibat aktif di dalamnya. Kedua, media sosial dapat menyebarkan pesan secara cepat dan masif, bahkan mampu mendorong perubahan sosial-politik seperti yang terjadi pada Revolusi Mesir tahun 2011. Ketiga, kepercayaan publik terhadap informasi dari media sosial sering kali melebihi realitasnya, menimbulkan persepsi yang kadang tidak sesuai fakta.
Dengan kekuatan tersebut, media sosial sebenarnya bisa menjadi sarana dakwah moderat yang efektif. Para dai dan pegiat dakwah moderat dapat melakukan kontra-narasi dengan menyebarkan konten positif, edukatif, dan inspiratif melalui berbagai format, seperti video, gambar, meme, atau artikel opini. Upaya ini harus dibarengi dengan penyusunan panduan fikih dakwah di media sosial yang merujuk pada nilai-nilai al-Qur'an dan Sunnah.
Fikih dakwah di media sosial mencakup dua aspek penting: historisitas dan normativitas dakwah. Dari sisi historis, konten dakwah perlu merefleksikan sejarah perjalanan dakwah Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga masa modern. Pengetahuan tentang sejarah dakwah di berbagai wilayah, seperti Afrika, Asia, Eropa, hingga Nusantara, penting agar pengguna media memiliki pijakan moral dan spiritual yang kuat.
Sisi normatif dakwah menekankan pentingnya etika dalam bermedia sosial. Panduan ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang penyebaran konten yang mengandung unsur fitnah, kebencian, adu domba, atau ujaran yang melecehkan kelompok tertentu. Dalam perspektif Islam, media dakwah adalah alat menyampaikan pesan-pesan keislaman, yang harus dilandasi dengan metode bijak seperti bi al-Hikmah, al-Mau'idzatul Hasanah, dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan.
Istilah "dakwah radikal" sejatinya bertentangan secara makna. Radikal mengandung arti ekstrem, fanatik, dan tidak terbuka terhadap perbedaan pandangan. Maka, dakwah sejati tidak mungkin menyatu dengan prinsip radikalisme yang cenderung menghakimi, mengkafirkan, atau menyebarkan teror. Istilah ini digunakan untuk membedakan dari "dakwah damai" yang lebih sesuai dengan esensi Islam.
Gerakan dakwah radikal di Indonesia dipengaruhi oleh pandangan konservatif yang ingin menegakkan politik Islam secara formalistik. Mereka cenderung mengabaikan keseimbangan dalam ajaran agama dan lebih condong pada interpretasi sempit terhadap syariat. Fenomena ini kemudian memunculkan fundamentalisme dan radikalisme, yang tidak hanya berupa pemahaman tekstual tetapi juga diikuti oleh tindakan fisik.
Di tengah arus informasi dan propaganda media yang tidak terkendali, fikih dakwah media sosial hadir sebagai panduan etis dalam menyampaikan pesan-pesan Islam. Ia tidak hanya menjadi respons terhadap bahaya konten dakwah radikal, tetapi juga sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang damai, moderat, dan berakhlak mulia dalam dunia digital yang tanpa batas.