Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Memanasnya Cina Vs Indonesia

8 Januari 2020   13:40 Diperbarui: 8 Januari 2020   23:32 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan yang diributkan (Foto: Kompas.com)

Publik Ojo Terkecoh Rekayasa Berita 

Gejolak memanasnya hubungan Republik Indonesia dengan Republik Rakyat China semakin menjadi-jadi. Ratingnya mampu mengimbangi tanah longsor dan banjir di Jakarta, dan penembakan terhadap Jenderal Qasem Soleimani, pimpinan pasukan Garda Revolusi Islam Iran, atas perintah Donal 'Bebek' Trump, Presiden AS. Namun gosip ini mampu mengalahkan kasus Asuransi Jiwasraya, yang menghabiskan uang di atas 13 trilyun rupiah. 

Bermula dari berita masuknya kapal-kapal nelayan China, yang di kawal Coast Guard-nya, memasuki perairan Laut China Selatan, dekat Pulau Natuna. Kejadian ini, di mata publik negeri ini, seolah-olah merupakan sebuah "konflik berat" antara Indonesia dengan China, yang dibayangkan sudah berada diambang pintu perang terbuka.

Oleh karena itu, Menko Kemaritiman, Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan, yang semula santun menyikapi perkembangan tersebut, terpaksa berubah style dan gaya bahasanya. Dari yang semula santun menjadi galak. Namun demikian, Menhan RI Jenderal Prabowo Subianto, belum berubah. "China itu Sahabat" ucap rival Jokowi saat Pilpres 2019 lalu.

Sementara Presiden RI, Joko Widodo, cukup faham psikologi publik. Ia tak ingin mengecewakan rakyatnya, maka sikapnya pun tegas, " ... tak ada kompromi dengan China ..." ucapnya. Rakyat pun akhirnya cukup puas dengan presiden yang terkenal suka blusukan ini.

Saya yang tak ngerti-ngerti urusan pertahanan dan hukum laut internasional pun merasa bingung. Di mata saya, dan juga publik luas, nasionalisme kita sedang terancam. Ini jika benar bahwa RRC akan mencaplok Kepulauan Natuna, sebuah Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau itu.

Saya sendiri belum pernah ke pulau itu. Jika sesekali ke Batam atau Singapura, paling saya main ke Tanjung Pinang (Pulau Bintan), untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Pulau Penyengat, ziarah ke maqam sastrawan terkemuka nusantara, Raja Ali Haji. 

Tetapi saya punya banyak rekan dan sahabat di pulau itu, baik teman saat sama-sama nyantri di Yogya tahun 1980-an, atau rekan-rekan mantan Aktivis PMII dan Kelompok Cipayung Yogyakarta, atau sahabat-sahabat aktivis NU. Melalui media sosial saya selalu sharing info dengan sahabat-sahabat PCNU Kabupaten Natuna, tentang keadaan di sana. 

Selain itu, saya juga punya senior, seperti Ahmad Dachlan (Walikota Batam 2 periode), dan Ghani Lasya, yang pernah menjabat Sekretaris Badan Otorita Batam. Menurut Ghani (kala itu), kawan-kawan di Natuna cukup terpencil dari Indonesia. Butuh waktu 6 jam perjalanan kapal laut dari Batam ke Kepulauan Natuna. 

Rekan-rekan di Pulau Natuna pun juga pernah cerita, betapa kontrasnya wilayah mereka dibanding pulau tetangga, seperti Singapura. Natuna gelap, dan negeri Singa itu terang benderang.

Tapi jangan kaget. Itu dulu. Kini sudah jauh beda. Setidaknya setelah Jokowi memerintah, negara sudah hadir, dan lebih peduli. Tetapi karena kemampuan masih terbatas, maka belum maksimal. Maka itu pula, nelayan nusantara memilih beroperasi di laut Jawa. Dalam kesunyian itulah, maka nelayan dari negara lain, seperti China, Thailand, Vietnam, dan lainnya masuk. Kebetulan di kawasan itu potensi ikannya sangat besar.

Khusus nelayan dari China, mereka mulai gencar masuk agak musiman, yaitu sekitar Desember, Januari dan Februari. Kenapa? Karena di bulan-bulan ini mereka perlu mengumpulkan ikan sebanyaknya. Buat apa ? Buat persiapan hari besar mereka, Hari Raya Imlek.

Kejadian masuknya kapal China ke kawasan tersebut bulan Desember lalu, merupakan bagian dari tradisi China seperti tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, berita yang beredar, Kedaulatan NKRI sudah digoyang China. Publik pun ramai-ramai, seperti biasanya, melakukan penghakiman.

Kebetulan, negeri bernama Indonesia ini belum berhasil menyelesaikan polarisasi politik yang muncul sejak Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Jokowi, sang pemenang, dituding bagian dari antek China. Tak hanya itu, anak tukang kayu dari Solo itu bahkan dituding keturunan China. Maka (mudah) gegerlah republik ini.

Duduk Masalah Sebenarnya
Tanpa sengaja, tadi pagi (Rabu, 08 Januari 2020), saya membuka Channel TV Swasta, dengan menghadirkan dua pengamat politik, masing-masing pengamat militer Andi Widjajanto dan Pakar Hukum Laut Prof. Hikmah Anto Juwana. Bagi saya pribadi, penjelasan kedua pengamat tersebut sangat bermanfaat, dan bisa menjelaskan duduk masalah yang sebenarnya.

Ternyata kapal nelayan China itu hanya di kawal kapal sipil, yang disebut dengan Coast Guard. Mereka masuk ke perairan Laut China Selatan itu bukan dalam wilayah kedaulatan NKRI. Mereka hanya masuk kawasan ZEE, Zone Ekonomi Eksklusif. Zone ini bisa saja semua orang melakukan klaim, karena normalnya ZEE itu maksimal 200 mil dari negara pantai.

Jadi publik luas, khususnya pasukan yang belum bisa melupakan polarisasi politik di negeri ini, ramai-ramailah mereka meributkannya. Tak hanya itu,  salah satu pemimpin mereka, yang hari ini masih tercekal di Arab Saudi, HRS, langsung dengan lantang berteriak menyalahkan pemerintahan RI, khususnya Presiden Jokowi. Padahal beliau barangkali sama sekali belum ngerti duduk masalah yang sebenarnya, seperti dijelaskan dengan baik oleh Prof Hikmah  Anto, Guru Besar UI itu.

Andai saja kapal-kapal China itu masuk wilayah kedaulatan NKRI, tentu saja kita semua patut teriak. Siap berperang melawan China. Nyatanya Natuna sebagai sebuah kabupaten di Kepulauan Riau sama sekali tak tersentuh. Rielnya, cuman mendekati kawasannya saja. Itu pun dengan zone yang sangat jauh. Jadi, gak bakalan ada konflik terbuka antara China dan Indonesia. 

Isu yang ada bisa jadi cuma semacam psy-war buat public di negeri ini, biar mereka lupa bahwa ada duit asuransi sekitar 13.5 trilyun rupiah telah digundul maling. Padahal uang segitu bisa beli sekitar 20 biji drone, yang bisa digunakan buat menggundul kepalanya Donald Trump dan Benjamen Netanyahu, pimpinan zionis Israel. Dengan begitu, hasilnya jelas. Bisa untuk menyenangkan pasukan khusus Garda Revolusi kaum Kardun, yang hari ini terus mengkristal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun