Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... -

Aku Masih di Sini, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cocoklogi Masjid

6 Oktober 2025   13:04 Diperbarui: 6 Oktober 2025   13:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: Masjid (Sumber: Detik.com)
Foto: Masjid (Sumber: Detik.com)

Transparansi Keuangan Masjid

Kalau bicara soal transparansi keuangan masjid, ada beberapa titik rawan yang sering menjanggal. Pertama, soal kotak amal. Hampir setiap Jumat, kotak amal berputar dari saf ke saf. Jamaah rutin menyelipkan uang, entah receh atau lembaran, tapi setelah itu kabarnya lenyap begitu saja sehingga tidak ada laporan jelas.

Kedua, persoalan dana pembangunan dan operasional. Kalau urusannya proyek besar seperti renovasi atau membangun menara, laporan biasanya rapi. Rincian biaya cat, tegel, hingga kubah bisa. Tapi ketika masuk ke kebutuhan sehari-hari seperti air, listrik, honor imam, atau kegiatan remaja masjid sering kali tak terdengar kabarnya. Di sinilah muncul kesan ada dana "abu-abu" yang tidak jelas arah peruntukannya.

Masalah lain adalah ketiadaan laporan rutin dan mekanisme audit. Masjid jarang punya pencatatan yang baku. Laporan keuangan kadang hanya berdasarkan rasa percaya, tanpa akuntabilitas. Akibatnya, ketika ada isu uang masjid yang tidak jelas penggunaannya, gosip dan kecurigaan mudah muncul.

Padahal, masjid adalah institusi publik yang mestinya bisa jadi teladan dalam tata kelola. Kalau prinsip good governance transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan diterapkan, jamaah akan merasa dilibatkan, lebih percaya, dan lebih semangat memakmurkan masjid.

Bentuknya bisa sederhana seperti papan pengumuman pemasukan dan pengeluaran setiap pekan, laporan bulanan yang ditempel di dinding, atau sistem pencatatan digital yang bisa diakses jamaah. Dengan begitu, masjid tidak hanya menjadi pusat ibadah, tapi juga contoh nyata bagaimana nilai kejujuran dan keterbukaan dijalankan.

Peran Aktor dalam Menghidupkan Masjid

Di balik megahnya bangunan masjid, ada hal lain yang tak kalah penting namun sering terabaikan yaitu peran aktor. Masjid tidak akan pernah hidup hanya dengan dinding berlapis cat mengilap atau kubah berlapis emas. Ia butuh sosok yang menggerakkan dari dalam imam, muadzin, khatib, dan penggerak remaja masjid.

Sayangnya, aktor-aktor utama ini masih didominasi oleh sosok sepuh. Tentu, hal itu bukan sebuah kesalahan. Justru mereka adalah penjaga setia masjid selama puluhan tahun. Namun, persoalan muncul ketika peran itu tidak diiringi dengan pembaruan. Imam kadang membaca ayat dengan tajwid seadanya, khutbah Jumat dibacakan datar tanpa intonasi, dan adzan dilantunkan tanpa irama yang menggugah. Akibatnya, jamaah lebih sering menguap daripada larut dalam ibadah.

Di sinilah seharusnya peran orang tua digeser bukan sekadar pelaksana, melainkan penasihat atau dewan penuntun. Mereka bisa menjadi mentor bagi generasi muda yang siap tampil. Dengan begitu, pengalaman para sepuh tetap diwariskan, sementara energi baru hadir melalui anak muda yang lebih segar dalam menyampaikan dakwah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun