Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... -

Aku Masih di Sini, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sawit Sebagai Wajah Kolonialisme Baru di Indonesia

24 September 2025   20:59 Diperbarui: 24 September 2025   20:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi (Sumber: Gemini.Ai)

Sepenggal pengalaman yang diceritakan Andi tentu bukan hanya cerita pribadi. Ia hanyalah satu wajah dari ribuan pekerja perkebunan sawit, khususnya para perantau yang datang dengan harapan besar namun sering kali pulang dengan tangan hampa. Laporan Sawit Watch (2022) misalnya, mencatat banyak buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera yang menghadapi kondisi kerja tidak layak, mulai dari upah minim, sistem kerja borongan yang menekan, hingga sulitnya akses terhadap jaminan sosial. Bahkan, sebuah investigasi BBC (2020) menemukan bahwa sebagian pekerja perempuan di perkebunan sawit kerap dipekerjakan tanpa kontrak jelas, dengan beban kerja berat namun upah yang tidak sepadan.

Foto: Ilustrasi (Sumber: Gemini.Ai)
Foto: Ilustrasi (Sumber: Gemini.Ai)

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah; mengapa mereka bisa bertahan di tengah situasi yang begitu pelik? Jawabannya sederhana; Mereka bertahan bukan semata karena betah, melainkan karena pulang kampung pun bukan pilihan mudah. Lah, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah ngos-ngosan, apalagi harus menyiapkan ongkos pulang.

Mereka dulu berangkat dengan penuh harapan dan doa keluarga, katanya untuk bekerja, untuk mencari rezeki, bahkan untuk membanggakan orang tua. Masa iya pulang dengan tangan kosong.

Situasi ini membuat banyak pekerja yang keluar merantau bekerja di perkebunan sawit akhirnya memilih bertahan meski dengan segala keterbatasan. Mereka terjebak dalam lingkaran antara idealisme dan kenyataan hidup. Harapan untuk sejahtera yang dulu jadi alasan merantau perlahan bergeser menjadi sekadar bertahan agar bisa mengirim sedikit uang ke kampung. Bagi sebagian orang mungkin terdengar tragis, tapi bagi mereka, bertahan di tengah kerasnya perkebunan lebih masuk akal ketimbang pulang dengan wajah tertunduk (malu).

Uraian di atas dapat membuka mata kita bahwa perkebunan sawit tidak hanya soal pohon, minyak, dan angka-angka ekspor, melainkan juga kisah manusia yang hidup di dalamnya. Pola relasi yang terbentuk antara pemilik modal, perusahaan besar, dan para pekerja kerap kali menyerupai sistem lama yang diwariskan sejak masa kolonial. Bedanya, jika dulu perkebunan dijalankan oleh kekuasaan kolonial Eropa, kini wajahnya berganti menjadi korporasi transnasional dan elite lokal yang sama-sama menguasai tanah dan tenaga kerja.

Dalam perspektif teori dependency (ketergantungan) yang diperkenalkan Andre Gunder Frank, ekspansi sawit dapat dibaca sebagai bentuk keterikatan struktural negara-negara berkembang pada pasar global. Kekayaan alam Indonesia menjadi rantai pasok utama bagi pusat-pusat kapital di dunia, sementara masyarakat lokal justru terjebak dalam lingkaran eksploitasi yang sama sekali tidak mensejahterakan. Begitu pula dalam kerangka Michel Foucault, relasi kuasa tidak lagi hadir dalam bentuk dominasi militer, melainkan melalui regulasi, konsesi, dan kontrak yang melanggengkan kontrol atas tubuh dan tanah masyarakat adat.

Itulah mengapa, sawit bisa dipandang sebagai bentuk "kolonialisme baru"; tanah adat diambil alih, masyarakat lokal kehilangan ruang hidup, dan para buruh dipaksa tunduk pada sistem kerja yang menekan. Kolonialisme tidak lagi hadir melalui senjata dan kekuasaan politik, melainkan melalui kontrak, konsesi, dan janji kesejahteraan yang kerap berakhir sebagai utopia. Sawit menjadi simbol bagaimana eksploitasi bisa berganti rupa tanpa kehilangan esensi: menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi akumulasi keuntungan segelintir pihak.

Pada titik inilah, sawit menjadi simbol bagaimana eksploitasi bisa berganti rupa tanpa kehilangan esensinya: menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi akumulasi keuntungan segelintir pihak. Maka, pertanyaan kritis yang layak kita renungkan adalah: sampai kapan kita membiarkan tanah air sendiri menjadi "tanah jajahan baru" yang berwajah modern?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun