Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... -

Aku Masih di Sini, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruang Aman Perempuan; Institusi Pendidikan dan Keluarga dalam Bayang-bayang Ketidakpastian

14 September 2025   20:48 Diperbarui: 17 September 2025   13:40 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ilusrasi (Sumber: Gemini.Ai)

Lingkungan yang tidak sehat secara sosial dan budaya, di mana kekuasaan menjadi segala-galanya, menjadi lahan subur bagi pelaku kekerasan seksual untuk beraksi. Korban, yang berada dalam posisi yang lemah dan rentan, seringkali kesulitan untuk mencari dukungan dan keadilan. Ketakutan akan stigma sosial dan ancaman dari pelaku membuat banyak korban memilih untuk diam (bungkam).

Kekerasan seksual bukanlah kecelakaan atau kesalahan. Pelaku secara sadar merencanakan dan melaksanakan tindakannya dengan memanfaatkan situasi dan kelemahan korban.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi, pesantren dan lembaga lainnya bukan tidak mungkin pelakuknya tidak memiliki pengetahuan. Justru pelaku melakukan perbuatan tersebut melalui relasi kuasanya lewat pengetahuan. Seperti yang di ungkapkan oleh Foucault bahwa "kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa".

Sehingga, dalam praktiknya wacana pengetahuan kerap kali dipergunakan untuk   melanggengengkan kekuasaan. Kekuasan adalah suatu jaringan kelembagaan yang mendominasi dan berhubungan dengan relasi-relasi yang lainnya seperti dalam keluarga, yang memainkan peran pengondisian dan dikondisikan (Foucault, 2002).

Meredefinisi Keamanan

Meredefinisi keamanan untuk perempuan bukan hanya menyoal perlindungan fisik, tetapi juga menghadirkan sistem yang mampu membongkar hierarki kekuasaan yang timpang di dalam institusi. Konsep keamanan yang ada saat ini kerap kali gagal memberikan jaminan perlindungan, bagi perempuan yang berada di lingkungan dengan relasi kuasa yang tidak seimbang seperti pesantren, kampus, dan keluarga, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru berubah menjadi arena pengkhianatan. Karena, kekuasaan kerap kali dijadikan sebagai alat untuk menindas.

Keamanan sejati bagi perempuan harus dimulai dari upaya menghilangkan "budaya diam" karena budaya tersebutlah yang justru melanggengkan kekerasan seksual. Artinya korban harus speak up tanpa harus takut disalahkan atau dihakimi. Selama ini, kita sering menyaksikan perempuan lebih banyak memilih untuk diam dan membiarkan para pelaku berkeliaran sambil mencari mangsa lain. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka budaya pelecahan terhadap perempuan hanya menyembunyikan kejahatan.

Selain itu, meredefinisi keamanan berarti menciptakan kebijakan afirmasi yang menargetkan akar masalah. Institusi pendidikan, seperti pesantren dan universitas, harus menerapkan sistem pengawasan dan transparansi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan bukan malah menyembunyikan kasus-kasus tersebut demi menjaga institusi. Misalnya, melakukan pelatihan wajib untuk pengelola institusi tentang kekerasan seksual dan relasi kuasa. dan menyediakan mekanisme pelaporan yang independen dan mudah diakses untuk perempuan.

Bagi saya, keamanan perempuan bukanlah sebuah konsep utopis yang mustahil diwujudkan. Ini adalah kebutuhan mendesak yang harus diperjuangkan. Tulisan ini bukan hanya sebuah ajakan untuk menyadari, tetapi juga seruan untuk bertindak. Karena keamanan perempuan adalah tanggung jawab kita bersama, dan bagi saya diam bukanlah pilihan.

tulisan ini telah terbit dalam rubik opini tribun

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun