Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Terkuaknya Konsep 'Kediktatoran' Prabowo dalam Debat Pilpres!

21 Januari 2019   10:38 Diperbarui: 21 Januari 2019   10:42 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Prabowo sebagai Chief of Law Enforcement Officer/ Diolah oleh Sukarja dari OkeZone.com dan Detik.com

Debat perdana yang digelar  Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Bidakara Jakarta, 17 Januari 2019, mempertemukan Joko Widodo dan KH Maruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi). Tentu saja, debat pilpres semacam ini tak hanya menjadi perhatian politisi dari kedua kubu pendukung. Debat perdana yang mengusung tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme juga menjadi perhatian masyarakat luas, termasuk para pengamat politik, hukum, penggiat hak asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya.

Dalam debat yang dimoderatori Ira Koesno dan Imam Priyono, ada pernyataan dari calon presiden nomor urut  02 Prabowo Subianto ini, sebagai sesuatu yang  membahayakan demokrasi di Indonesia. Apa itu?

Prabowo menyampaikan pendapatnya bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer. Apa maksudnya? Bahwa dengan kekuasaannya, seorang Presiden akan menggunakan jabatannya itu sebagai alat intervensi hukum.

Pernyataan itulah yang menurut  Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf mencerminkan karakter dasar dari sosok Prabowo Subianto.

"Pernyataan yang berbahaya. Presiden menentukan kebijakan politik hukum sebagai penjabaran fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Presiden tidak boleh intervensi atas masalah hukum. Jadi apa yang disampaikan bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer adalah cermin bawah sadarnya untuk gunakan jabatan Presiden sebagai alat intervensi hukum," kata Hasto dalam rilis yang diterima Tribunnews.com pada Kamis (17/1/2019).


Apa yang dikatakan Prabowo bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer  dinilai dapat mengancam keberadaan fungsi lembaga Yudikatif sebagai bagian dari pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia yang diatur UUD 1945, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dengan kata lain, seorang Presiden dengan kekuasaannya,  tidak boleh begitu saja mencampuri pelaksanaan tugas dalam penegakan hukum, yang dilakukan oleh badan yudikatif.

Mengapa? Karena dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dijamin sebagai kekuasaan yang merdeka dan harus bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun, termasuk dari presiden sekali pun.

Apa yang dinyatakan Prabowo adalah sebuah konsep yang tidak tepat di negara Indonesia yang berdasarkan Republik. Dengan kata lain, mantan Danjen Kopassus ini tidak memahami konsep dari sistem ketatanegaraan Indonesia, yang membagi kekuasan dalam 3 bagian yang disebut Trias Politica, antara lain lembaga yang berwenang membentuk UU (legislatif), lembaga yang melaksanakan (eksekutif), dan lembaga yang menegakkan undang-undang (yudikatif).

Dalam sistem ketatanegaran Indonesia, yang menganut sistem presidensial, seorang Presiden  tidak boleh mencampuri kekuasaan di bidang yudikatif yang dilaksanakan oleh badan peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun