Mohon tunggu...
Syaira Najlalivia
Syaira Najlalivia Mohon Tunggu... Mahasiswa UPI Bandung

Aku menulis untuk mendengar suara-suara yang tak terdengar. Seorang Mahasiswa yang gemar menuangkan rasa dan logika lewat opini, puisi, dan cerita pendek. Menemukan makna di antara sunyi, dan pertanyaan di balik kemajuan zaman.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

F1, Sport atau Showbiz? Refleksi Seorang Penonton Muda dari Cerita Ayah

23 April 2025   12:20 Diperbarui: 23 April 2025   11:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sebagai anak muda kelahiran 2005, saya mengenal Formula 1 bukan dari tayangan televisi atau sorakan penonton, melainkan dari cerita ayah. Ia bercerita dengan mata berbinar tentang bagaimana adu nyali Michael Schumacher di bawah panji Ferrari membuat hari minggu jadi penuh adrenalin. Dari cerita itulah saya mengenal F1 bukan sebagai tontonan penuh drama, tapi sebagai ajang sportivitas dan keberanian manusia di atas lintasan berkecepatan tinggi.

Namun, saat saya mulai menonton F1 sendiri, rasa kecewa mulai tumbuh. Balapan yang seharusnya penuh ketegangan kini sering terasa datar. Siapa yang menang, sering kali bisa ditebak bahkan sebelum lampu start padam. Ferrari yang dulu jadi ikon kejayaan kini justru tertinggal, bahkan dengan pembalap hebat seperti Vettel hingga Lewis Hamilton yang masuk di musim 2025 ini.

Banyak yang bilang, ini semua karena perkembangan teknologi. Dan ya, memang benar, teknologi tak bisa dihindari. Tapi saat teknologi jadi segalanya dan skill pembalap, kerja keras tim kecil, bahkan keberanian di lintasan jadi sekadar pelengkap di situlah F1 kehilangan jiwanya.

Salah satu momen paling kontroversial adalah "secret agreement" antara FIA dan Ferrari pada 2019. Mesin Ferrari saat itu dituduh memanfaatkan celah aturan untuk mendapatkan performa lebih. Setelah kesepakatan rahasia itu, performa mereka anjlok. Bukan hanya karena ditekan regulasi, tapi karena dunia F1 lebih fokus pada menjaga citra daripada menjunjung kompetisi terbuka.

Hal ini membuat saya berpikir: apakah olahraga modern, termasuk F1, sudah benar-benar berubah arah? Apakah kita sedang menyaksikan lahirnya dunia olahraga yang lebih mirip reality show, di mana drama lebih penting daripada duel sejati?

Ironisnya, di tengah semua kritik itu, popularitas global F1 justru meningkat. Menurut laporan dari Formula 1 Media Centre, jumlah penonton F1 secara global pada musim 2022 mencapai lebih dari 1,5 miliar tayangan di seluruh dunia, naik dari tahun sebelumnya. Di media sosial, F1 adalah olahraga dengan pertumbuhan tercepat, terutama setelah booming serial Drive to Survive yang diproduksi Netflix. Penonton baru bermunculan bukan karena penasaran siapa yang tercepat, tapi karena ingin mengikuti drama tim, perseteruan pembalap, atau intrik di balik pit stop.

Bahkan Lewis Hamilton sendiri pernah menyatakan dalam sebuah wawancara dengan The Race, bahwa drama dan cerita personal menjadi penting untuk menarik generasi baru. Namun ia juga mengingatkan bahwa jangan sampai sisi olahraga dikorbankan hanya demi hiburan. "F1 should never forget that it's still a sport. The show is important, but competition must come first," kata Hamilton.

Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah semangat sportivitas di mata penonton juga mulai bergeser? Apakah sekarang kita lebih tertarik pada sensasi daripada prestasi?

Dalam konteks F1, dominasi teknologi seringkali dipertajam oleh keputusan regulasi yang tidak selalu fair. FIA sebagai badan pengatur F1 pernah beberapa kali dikritik karena dianggap lebih condong kepada tim-tim besar. Salah satu contoh paling terkenal adalah era kejayaan Ferrari di awal 2000-an, ketika muncul rumor bahwa regulasi yang ditetapkan FIA justru menguntungkan Ferrari, termasuk pembekuan mesin (engine freeze) yang membuat tim lain kesulitan mengejar ketertinggalan. Ketika regulasi dibuat tidak netral, maka prinsip sportivitas pun ikut dikorbankan.

FIA mungkin berniat menjaga stabilitas dan daya saing, tetapi jika dilakukan dengan mengorbankan keadilan, maka itu justru menghancurkan semangat olahraga itu sendiri. Alih-alih memberikan kesempatan yang setara bagi tim-tim kecil untuk berkembang, keputusan seperti ini hanya memperlebar jurang kekuatan antara tim papan atas dan sisanya.

Olahraga seharusnya menjadi ruang untuk menunjukkan siapa yang berjuang paling keras, bukan siapa yang punya anggaran terbesar atau koneksi di balik layar. Saya tidak menolak teknologi justru saya pikir teknologi bisa memperkaya olahraga. Tapi jangan sampai kita mengorbankan keadilan dan semangat kompetitif hanya demi tontonan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun