"Apa gunanya akses suatu obat dikatakan baik jika tidak ada yang menjamin obat tersebut digunakan dengan benar?"
Kalimat tersebut beberapa hari ini terngiang di kepala saya sejak mendengar tentang program baru pemerintah mengenai Apotek Plasma. Program yang yang katanya sengaja dibuat untuk memperluas akses masyarakat Indonesia terhadap obat-obatan, terutama di daerah terpencil atau pedalaman. Sekilas terdengar mulia, tetapi menyisakan keresahan bagi kami yang sedang belajar dan berjuang menekuni profesi kefarmasian ini.
Apa itu Apotek Plasma?
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian, dimana sebagai tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Apotek tidak hanya tempat untuk menjual obat, tetapi tempat untuk pengamanan, pengendalian mutu, pembuatan, penyimpanan, dan distribusi obat.
Apotek Plasma adalah cabang dari apotek utama, disebut Apotek Inti, yang dibuka di wilayah yang belum punya apotek sendiri. Tujuannya yaitu agar masyarakat desa bisa lebih mudah mendapatkan obat. Berbeda dengan apotek biasa, Apotek Plasma tidak mewajibkan kehadiran apoteker di tempat.. Artinya, proses pelayanan obat bisa dilakukan oleh tenaga lain yang belum tentu memiliki kompetensi farmasi secara utuh. Apoteker tetap ada, tapi hanya “mengawasi” dari kejauhan, entah lewat laporan bulanan atau kunjungan sesekali. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak yang merasa pengawasan ini hanyalah sebuah formalitas.
Sebagai mahasiswa farmasi, saya belajar bahwa obat bukan sekadar barang dagangan. Obat adalah zat aktif yang bisa menyembuhkan atau bisa menjadi racun berbahaya, tergantung dosis dan bagaimana cara kita menggunakannya. Dan di sinilah peran apoteker menjadi sangat penting:
1. Memberikan penjelasan/edukasi cara menggunakan obat dengan baik dan benar
2. Menjelaskan efek samping obat
3. Memastikan dosis obat sudah sesuai dengan orang yang mengonsumsinya
4. Menjelaskan cara penyimpanan obat yang baik dan benar
Bagaimana jika Seorang Apoteker Tidak Hadir Secara Langsung?
Apakah kita bisa menerima program kesehatan jika harus menghilangkan kehadiran dokter hanya karena jauh atau sulit? Begitu pun dengan peran apoteker. Menghapus apoteker dari sistem distribusi obat sama saja akan mempertaruhkan keselamatan pasien. Apoteker bukan sekedar penjaga apotek, bukan hanya sekedar menjaga toko obat. Apoteker merupakan bagian dari sistem kesehatan, dan mereka belajar bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari bahayanya jika menggunakan obat secara salah.
Saya hanya merasa sedih, kami disini belajar dengan beban tekanan yang tinggi, jadwal kuliah dan praktikum yang padat, ilmu yang kompleks—hanya untuk melihat profesi ini seolah bisa digantikan oleh sistem tanpa wajah.
Saya tau bahwa negara Indonesia ini sangat luas, distribusi obat-obatannya belum merata ke semua wilayah, dan harus ada solusi atas masalah ini. Akan tetapi, mengapa harus dengan cara menghilangkan peran apoteker, kenapa bukan dengan memperkuat sistem, bukan malah mempermudah tanpa memikirkan risikonya?
Saya percaya, tujuan Apotek Plasma sebenarnya baik. Namun, pelaksanaannya perlu direvisi. Beberapa saran yang bisa dipertimbangkan yaitu :
1. Tetap mengadakan kunjungan apoteker ke daerah tersebut
2. Apoteker turut serta dalam mengedukasi masyarakat
3. Menciptakan telefarmasi agar pasien tetap dapat konsultasi kepada apoteker
4. Menciptakan aturan yang lebih tegas demi keselamatan pasien
Apotek Plasma bisa menjadi jembatan, tapi bukan pengganti.
Solusi kesehatan di Indonesia seharusnya tetap memberi ruang bagi apoteker untuk menjalankan perannya: bukan hanya sebagai tenaga teknis, tapi juga pendidik, penjaga mutu, dan pelindung pasien. Akses kesehatan yang cepat memang penting. Tapi akses yang aman dan bermutu jauh lebih penting untuk keselamatan kita semua.
Penulis : Syaira Miranti
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI