"LSL Jadi Kelompok Paling Rentan HIV di Samarinda" Ini judul berita di busam.id, 12/9/2025.
Pernyataan pada judul berita ini tidak akurat, karena:
Pertama, kerentanan terhadap risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual, tapi karena perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko, antara lain pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal atau seks anal) tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang dikenal sebagai cewek prostitusi online.
Kedua, LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) bukan kelompok tapi perilaku orang per orang. Dalam kaitan ini LSL yang di Indonesia dikait-kaitkan dengan HIV/AIDS ternyata bukan sebagai gay dengan homoseksual sebagai orientasi seksual karena mereka mempunyai pasangan perempuan (baca: istri).
Ketiga, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC-Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat (AS) menyebut LSL merupakan kalangan yang beragam dalam hal perilaku, identitas, dan kebutuhan perawatan kesehatan. Istilah "LSL" sering digunakan secara klinis untuk merujuk pada perilaku seksual semata, tanpa memandang orientasi seksual (misalnya, seseorang mungkin mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual tetapi masih diklasifikasikan sebagai LSL). Â
Maka, laki-laki pengidap HIV/AIDS yang disebut-sebut sebagai LSL di Samarinda (Kaltim) khususnya dan di Indonesia umumnya tidak otomatis sebagai gay dengan orientasi seksual sebagai homoseksual (secara seksual tertarik kepada sesama jenis) karena ternyata mereka mempunyai istri. Sejatinya gay tidak tertarik kepada perempuan, maka yang disebut-sebut sebagai LSL di Indonesia adalah laki-laki heteroseksual dengan perilaku LSL.
Di lead berita disebutkan: Tren HIV di Samarinda menunjukkan kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) masih menjadi yang paling terdampak.
Orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS bukan terdampak (terkena dampak), tapi konsekuensi logis akibat perilaku mereka sendiri.
Yang terdampak adalah pasangan mereka, dalam hal ini istri, karena istri tidak bisa mencegah agar tidak tertular HIV/AIDS dari suami. Adalah hal yang mustahil seorang istri bertanya kepada suaminya tentang perilaku seksual si suami di luar rumah. Bisa-bisa istri menerima bogem mentah karena istri di sebagai sub-ordinat laki-laki jadi pelengkap penderita.
Kondisinya kian runyam karena kewajiban tes HIV hanya kepada ibu hamil (Bumil), sedangkan suami tidak menjalani tes HIV. Itu artinya pemerintah membiarkan suami-suami Bumil yang HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Indonesia (Lihat matriks).