"Aliansi Literasi dan Transformasi Rakyat Semesta (Altras) mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengambil langkah tegas dan terukur terkait peningkatan kasus HIV dan AIDS di provinsi itu." Ini lead pada berita "Altras desak Pemprov Jabar ambil langkah tegas terkait peningkatan kasus HIV/AIDS" (antaranews.com, 11/5/2025).
Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan di lead berita di atas, yaitu:
Pertama, apa yang dimaksud dengan 'peningkatan kasus HIV dan AIDS'? Jika patokan adalah jumlah kasus yang dilaporkan itu artinya adalah jumlah kasus yang terdeteksi bukan jumlah infeksi HIV baru.
Padahal, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan, dalam berita disebut tahun 2010-2024 sebanyak 80.060 HIV dan 17.668 AIDS, tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Kedua, kondisi itu menunjukkan banyak warga Jawa Barat (Jabar) yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari. Hal ini terjadi karena seseorang yang tertular HIV tidak semerta menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Jika pengidap HIV/AIDS laki-laki, maka mereka menularkan HIV/AIDS ke istrinya, jika istrinya tertular ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Selain itu tidak sedikit laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu, punya selingkuhan dan pelanggan pekerja seks komerisal (PSK).
Studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antara 6,7 juta pria itu mempunyai istri. Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Ketiga, adalah hal yang mustahil dalam kondisi pelacuran tidak dilokalisir menanggulangi penyebaran HIV/AIDS karena praktek pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial sehingga tidak terjangkau (lihat matriks).
Keempat, salah satu langkah yang perlu dilakukan oleh Pemprov Jabar dan jajarannya adalah merancang program untuk mendeteksi warga Jabar pengidap HIV/AIDS yang belum terjangkau. Dengan catatan program tersebut tidak melawan hukum dan tidak merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dalam berita disebutkan: Altras merekomendasikan beberapa langkah strategis yang perlu segera diimplementasikan, yaitu:
Pertama, penguatan program pencegahan penularan HIV ibu ke anak dengan mengintensifkan skrining HIV pada ibu hamil dan memberikan intervensi yang efektif untuk mencegah penularan virus kepada bayi.
Ini benar-benar naif yaitu tidak melakukan tes HIV terhadap suami ibu hamil. Sejatinya, sudah saatnya pemerintah membalik paradigma berpikir yaitu langkah pertama bukan mewajibkan ibu hamil tes HIV, tapi suami ibu-ibu hamil yang harus tes HIV terlebih dahulu.
Jika suami HIV-positif, dilanjutkan tes istrinya yang hamil. Kalau suami HIV-negatif, maka istrinya yang sedang hamil dikonseling jika pernah menikah sebelumnya untuk mengetahui kemungkinan tertular HV dari suami sebelumnya.
Jika suami ibu-ibu hamil tidak jalani tes HIV, maka mereka jadi mata rantai penyebar HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (lihat matriks).
Kedua, memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang komprehensif dan masif kepada anak dan remaja dengan meningkatkan kesadaran orang tua untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS pada anaknya secara lengkap dan berkelanjutan.
Persoalan yang sangat mendasar adalah informasi HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS sebaliknya justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Baca juga: "ABAT" (Aku Bangga Aku Tahu) Tidak Memberikan Cara Pencegahan HIV/AIDS yang Eksplisit (Kompasiana, 4 Juli 2013)
Pada usia belia dan remaja libido berupa dorongan seks sangat tinggi yang tidak bisa disubsitusi dengan kegiatan lain. Nah, apa yang akan disampaikan oleh Altras dalam mengatasi penyaluran dorongan seks kalangan remaja? Agaknya, yang muncul hanya orasi moral dengan balutan kemunafikan.
Yang perlu diingat epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas wilayah, seperti desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi bahkan negara.
Maka, upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jawa Barat terpulang kepada warga, terutama laki-laki dewasa dengan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS: Apakah mau menghentikan perilaku tersebut atau tidak?
Atau Altras punya cara mengawasi perilaku seksual setiap warga Jabar, terutama laki-laki dewasa, di wilayah Jabar, di luar Jabar atau di luar negeri? <>
* Kompasianer ini adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000 (ISBN 979-416-627-8); (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002 (ISBN 979-96905-0-1); (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014 (ISBN 978-602-231-192-8); (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022 (ISBN 978-623-5631-25-7). (Kontak via e-mail: syaifulwh@gmail.com).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI