Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru di Pusaran Globalisasi

22 Mei 2015   20:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Proyek globalisasi yang dihembuskan oleh negara-negara kapitalis semakin tak dapat dihindari. Proyek tersebut telah menjelma sebagai sebuah kebutuhan tersendiri bagi setiap negara. Dalam buku The End of History and The Last Man; Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Francis Fukuyama (2004) menegaskan bahwa pada abad ke-20, paham kapitalis dan demokrasi akan menguasai seluruh dunia. Suatu prediksi yang hampir sempurna setelah melihat kenyataan saat ini.

Bahkan, globalisasi semakin memperpanjang tangannya. Globalisasi bagaikan makhluk hidup yang terus tumbuh dan berkembang. Salah satu rangkaian proyek globalisasi adalah lahirnya kesepakatan liberalisme regional. Di Asia misalnya, lahir program ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA).

Program yang akan dilaksanakan pada Desember 2015 mendatang ini tentunya memiliki dampak yang sangat besar terhadap setiap negara yang ada di ASEAN. Tidak hanya di bidang ekonomi melainkan juga menyentuh bidang politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Oleh karena itu, penyiapan genarasi-generasi tangguh dalam menghadapi tantangan tersebut tidak bisa ditawar lagi.

Apabila berbicara generasi tentu yang akan ditunjuk lebih dahulu adalah pendidikan. Lembaga pendidikan layaknya sebuah industri yang dituntut untuk mencetak generasi bangsa yang lebih baik. Kegagalan pendidikan akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan suatu negara.

Untuk itulah, stakeholder pendidikan harus memiliki integritas yang tinggi demi kemajuan negara Indonesia. Sebab, dalam persaingan global, integritas suatu bangsa menjadi hal yang amat populer untuk selalu digembor-gemborkan. Kalau tidak dapat dipastikan bangsa tersebut akan terombang-ambing sebab tak punya sanggahan yang kuat.

Di antara stakeholder pendidikan, yang paling berperan dalam rangka penyiapan generasi bangsa berkualitas dan berdaya saing ini adalah guru. Dalam pengertian umum, guru adalah pendidik dan pengajar padapendidikananak usia dini jalursekolahatau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan dalam pengertian formal di Indonesia, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatussarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia (wikipedia).

Dengan demikian, guru memiliki peran yang sentral untuk menyiapkan generasi bangsa yang lebih baik. Guru sebagai suri teladan bagi peserta didiknya. Apalagi pada era globalisasi ini, seorang teladan terasa semakin langka. Berbagai prilaku amoral semakin banyak melingkupi sudut-sudut kehidupan. Bahkan lembaga pendidikan pun tidak bisa lepas dari itu.

Memang munculnya prilaku-prilaku tersebut tidak membuat kita serta merta menyalahkan globalisasi, akan tetapi lahirnya globalisasi pelan tapi pasti telah menyeret manusia ke dalam lingkup individualisme. Berikutnya, individualisme ini yang akan membangun pola pikir kesewenang-wenangan, tidak taat aturan, norma, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Tuntutan di Luar Kewajiban

Berbagai tantangan (kalau tidak mau disebut sebagai dampak negatif) dari adanya globalisasi sebagaimana diurai di atas memberikan beban tersendiri bagi seorang guru selaku pendidik dan penyiap generasi bangsa. MEA sudah di ambang pintu maka tugas guru yang tidak mudah ini pun sudah sangat urgen untuk diperhatikan.

Seorang guru dituntut tidak hanya memahami pengetahuan yang sederhana untuk ditransformasikan kepada peserta didik. Dalam rangka menghadapi MEA, guru harus menjadi manusia yang multi di segala bidang.

Pengetahuan tidak boleh hanya berpaku pada buku ajar yang biasa dipakai pada abad-abad sebelumnya. Guru harus menambah wawasan hingga ke seluruh belahan bumi. Berkembang pesatnya teknologi dan informasi menyebabkan guru harus berani berlomba-lomba untuk menambah pengetahuan. Kalau tidak, maka akan sangat memungkinkan guru akan ketinggalan oleh peserta didiknya sendiri.

Akan tetapi, yang tak kalah penting untuk ditekankan lagi, selain menambah wawasan dan pengetahuan, adalah seorang guru harus menjadi suri teladan yang baik. Ini memang hal yang sangat mudah untuk diungkapkan daripada wawasan dan pengetahuan, namun pada faktanya, suri teladan ini sangat sulit direalisasikan.

Belakangan ini, media ramai memberitakan tentang kasus-kasus asusila yang terjadi di dunia pendidikan. Suatu peristiwa yang sangat mencontreng kemuliaan dunia pendidikan. Sebagaimana yang pepatah mengatakan, guru adalah orang yang di-guguh dan ditiru. Artinya, seorang guru menjadi seorang model bagi peserta didiknya pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Jika tidak, lantas siapa yang akan di-guguh dan ditiru?

Dalam permasalahan dunia yang semakin kompleks ini, guru tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan tugasnya mengajar sesuai jam kerja. Bagaimanapun, sebagai contoh teladan, maka guru (sebenarnya) bekerja 24 jam. Walaupun di luar lembaga pendidikan, seorang guru tetap harus berada pada posisinya sebagai role model.

Terkait dengan ini tentu yang menjadi pokok pembahasan adalah karakter yang dimiliki oleh masing-masing guru. Ir. Soekarno pernah menegaskan pentingnya pembangunan karakter dalam rangka pembangunan bangsa ini. “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena charakter building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.”

Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, watak atau tabiat (KBBI). Penanaman karakter dapat dilakukan dengan memberikan contoh nyata. Di sinilah seorang guru dituntut untuk benar-benar menjadi contoh orang yang memiliki karakter yang baik.

Karakter dan Integritas

Oleh karena itu, tugas guru di tengah arus global yang menghembuskan angin kebebasan ini semakin berat. Kebebasan yang menggiring manusia ke dunia individualisme. Individualisme yang menyebabkan seseorang berpotensi berlaku sewenang-wenang tanpa memedulikan lingkungan sekitarnya.

Sedikitnya dua kunci utama yang harus dimiliki seorang guru demi menyiapkan generasi bangsa berkualitas dan berdaya saing di tengah era liberasisasi MEA nanti. Pertama, guru harus menambah wawasan dan pengetahuan yang dimiliki. Perkembangan teknologi dan informasi harus benar-benar dimanfaatkan sebagai media untuk meng-upgrade ­kemampuan dirinya.

Kedua, seorang guru dituntut menjadi role model seutuhnya. Karakter dan integritas harus menyatu dalam diri seorang guru. Lemahnya karakter akan menyebabkan runtuhnya moralitas bangsa. Lemahnya integritas akan menyebabkan lenyapnya generasi bangsa. Wallahu a’lam.

Surabaya, 20 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun