Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Perkenalkan, saya Syaiful Nurhidayattulah dengan nim 232111122 kelas 4 D, Hukum Ekonomi Syariah. Pada kesempatan kali ini, izinkan saya menyampaikan ringkasan dari makalah kami yang berjudul "Law and Social Control" atau dalam bahasa Indonesia "Hukum dan Kontrol Sosial."
Topik ini sangat penting karena berbicara tentang peran hukum dalam menjaga ketertiban masyarakat. Kita tahu, dalam kehidupan sosial, manusia tidak hidup sendiri. Kita saling berinteraksi, berkomunikasi, bahkan berbagi ruang dan sumber daya. Agar hubungan sosial ini berjalan harmonis, diperlukan seperangkat aturan yang disepakati bersama. Nah, di sinilah hukum hadir sebagai alat pengatur, sekaligus kontrol sosial.
Apa itu kontrol sosial?
Kontrol sosial adalah cara-cara atau mekanisme yang digunakan masyarakat, baik secara formal maupun informal, untuk mendorong individu agar bertindak sesuai norma yang berlaku. Kontrol sosial bisa dilakukan melalui hukum, tetapi juga melalui norma agama, adat, budaya, dan bahkan tekanan sosial dari lingkungan sekitar.
Dalam makalah kami, kami mengangkat bahwa hukum merupakan bentuk kontrol sosial yang paling formal. Hukum ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, seperti pemerintah dan lembaga peradilan. Aturannya tertulis, bersifat mengikat, dan jika dilanggar akan dikenai sanksi yang jelas---baik itu pidana, perdata, atau administratif.
Namun demikian, hukum bukanlah satu-satunya kontrol sosial. Di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, kontrol sosial juga dilakukan lewat pranata sosial lain, seperti agama, adat, dan kebiasaan. Misalnya, di beberapa daerah, pelanggaran norma adat bisa dikenai sanksi sosial yang berat, meskipun secara hukum negara tidak dianggap sebagai pelanggaran. Ini menunjukkan bahwa hukum dan norma sosial saling melengkapi.
Tapi, apakah hukum selalu efektif sebagai alat kontrol sosial?
Sayangnya tidak selalu. Dalam kenyataannya, kami menemukan beberapa faktor penghambat yang membuat fungsi hukum sebagai kontrol sosial menjadi tidak maksimal. Pertama, adalah kehendak bebas manusia. Meski sudah ada hukum, pelanggaran seperti korupsi, perampokan, bahkan kejahatan siber tetap terjadi. Ini menunjukkan bahwa hukum hanya bisa mengatur perilaku lahiriah, tetapi tidak bisa menyentuh kesadaran atau moralitas seseorang secara utuh.
Kedua, penyalahgunaan kekuasaan atau yang biasa disebut oligarki hukum. Di banyak kasus, hukum justru dijadikan alat oleh segelintir elit untuk mempertahankan kepentingannya. Kita masih ingat bagaimana hukum pada masa Orde Baru seringkali hanya menguntungkan penguasa, dan bukan keadilan.
Ketiga, adalah penafsiran hukum yang tidak seragam. Dalam praktik peradilan, hakim bisa memiliki tafsir yang berbeda terhadap satu pasal hukum. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, dan bahkan ketidakadilan.