Kemacetan horor yang terjadi pada pertengahan April 2025 membuat Pelabuhan Tanjung Priok lumpuh. Lebih dari 4.000 truk terjebak berjam-jam di akses menuju Terminal Kalibaru atau NPCT1 (New Priok Container Terminal One). Banyak yang melihatnya sebagai masalah operasional biasa. Tapi bagi yang mengikuti jejak proyek ini sejak awal, ini adalah sinyal kegagalan sistemik. Bahwa ada yang keliru dalam arah pembangunan pelabuhan Indonesia, yang tak hanya soal volume barang, tetapi juga menyangkut perencanaan, infrastruktur, dan pengelolaan aset vital negara.
NPCT1 sejak awal diproyeksikan sebagai ikon kemandirian logistik nasional. Namun, kenyataan yang terbentang hari ini justru memperlihatkan ironi yang menyakitkan.
Jargon Kemandirian, Berujung Ketergantungan
NPCT1 digagas lebih dari satu dekade lalu saat Richard Joost Lino memimpin Pelindo II. Lino menyebut Kalibaru sebagai pelabuhan masa depan Indonesia---sebuah hub port regional yang akan memutus ketergantungan Indonesia pada pelabuhan transshipment Singapura.
Tapi sejak awal, proyek ini dibangun di atas perencanaan yang lemah. Proyek tidak masuk Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Proses tender dibatalkan, diganti dengan penunjukan langsung.Â
Lokasi dipilih terburu-buru, akses utama bertabrakan dengan infrastruktur Pertamina, desain berubah di tengah jalan. Terminal pun dibangun di atas laut dengan tiang pancang, bukan reklamasi, demi mengejar waktu---meski risiko teknis dan biaya perawatan jangka panjang justru lebih besar. Biaya pembangunan naik 26% dari $1,02 miliar ke $1,29 miliar.Â
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat indikasi kerugian negara lebih dari Rp1 triliun. Belum termasuk potensi kerugian tambahan yang ditaksir Rp440 miliar.
Lebih jauh, struktur kepemilikan NPCT1 mengungkap absurditas lain. Pelindo II memang menggenggam 51 persen saham, tetapi sisanya dikuasai oleh Mitsui & Co., ONE (Ocean Network Express), dan---yang paling ironis---PSA International, operator pelabuhan milik Pemerintah Singapura. Pelabuhan yang hendak mengurangi dominasi Singapura justru kini dijalankan oleh perusahaan pelabuhan Singapura itu sendiri.
Dalam laporan keuangan Pelindo Semester I 2023, NPCT1 justru mencatat kontribusi negatif sebesar Rp22,76 miliar, meskipun telah beroperasi penuh sejak 2016. Penyebabnya: struktur perjanjian yang mencantumkan skema Permitted Equity Return (PER)---sebuah klausul yang memberikan hak eksklusif kepada investor untuk memperoleh laba terlebih dahulu, hingga tingkat pengembalian modal tertentu tercapai.
Dengan skema ini, meskipun NPCT1 menghasilkan cukup revenue, investor enggan mereinvestasikannya untuk infrastruktur yang tidak meningkatkan profit langsung atau justru menunda pencapaian PER. Maka, proyek seperti pembangunan buffer zone, jalan akses, atau fasilitas pendukung lainnya cenderung dibiarkan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat/daerah, atau bahkan Pelindo sendiri, meski sebenarnya area tersebut bagian dari sistem operasi NPCT1.
Saat Negara Hanya Menerima Sewa
Memang, Pelindo menerima Advance Site Rent (ASR) sebesar USD 100 juta yang dibayarkan di awal proyek, serta Quarterly Site Rent (QSR) sebesar USD 14 juta per kuartal sejak 2022. Dalam 22 tahun ke depan, total QSR yang diterima diperkirakan mencapai USD 1,232 miliar, atau USD 571 juta jika dihitung dengan nilai sekarang (NPV).Â