Surat Cinta untuk Tagihan Kartu Kredit
(Sebuah kisah cinta antara manusia modern dan selembar kertas yang bikin deg-degan tiap tanggal 25)
Hai, kamu... iya, kamu yang selalu datang diam-diam di email dengan subjek "Tagihan Sudah Tersedia."
Entah kenapa, meskipun tiap bulan aku janji takkan membuka hatiku lagi, aku tetap klik kamu duluan. Ada rasa rindu, tapi juga takut --- kayak buka chat mantan yang masih suka kirim "hai" tengah malam.
Kamu, Tagihan Kartu Kredit, bukan cuma angka. Kamu adalah cermin gaya hidupku: kopi artis, diskon impulsif, dan rasa ingin healing yang berlebihan. Kamu tahu betul titik lemahnya manusia modern --- cashback lima persen dan promo cicilan nol persen. Karena siapa sih yang bisa menolak kalimat manis: "beli sekarang, bayar nanti"?
Tapi mari jujur: hubungan ini toksik.
Kamu bikin aku kerja bukan buat hidup, tapi buat nutup limit. Setiap kali aku bayar, kamu tersenyum dan bilang, "Terima kasih, sampai ketemu bulan depan." Dan aku---bodohnya---mengangguk, seolah ini cinta yang wajar.
Namun tidak lagi.
Hari ini aku menulis surat ini bukan untuk memutuskan cinta, tapi untuk mengatur batas. Kita tetap bisa bertemu, tapi seperlunya saja. Hanya untuk hal penting, bukan untuk sepatu diskon yang "nggak bisa dilewatkan."
Mulai sekarang, aku mau hubungan finansial yang sehat:
- Bayar penuh, bukan minimum.
- Pakai bijak, bukan panik.
- Hidup sederhana, bukan sekadar bergaya.
Karena, wahai tagihan, cinta sejati itu bukan yang bikin jantung deg-degan tiap akhir bulan --- tapi yang bikin rekening tetap tenang, walau gajian masih dua minggu lagi.
Dengan hormat,
Seseorang yang sedang belajar mencintai saldo positif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI