Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Songket : Dari Nagari ke Dunia.

12 September 2025   08:17 Diperbarui: 12 September 2025   08:17 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Sore itu di kaki Gunung Rinjani, seorang pengrajin anyaman bambu sibuk mengepak produknya. Bukan untuk pasar lokal, tapi untuk dikirim ke konsumen di Jerman. Produk anyamannya, yang dulu hanya laku di pasar desa, kini menjadi bagian dari etalase "eco-living" di Eropa. Ia tak sendiri. Ratusan pelaku usaha kreatif dari berbagai pelosok Indonesia kini membuktikan bahwa produk desa bisa mendunia.

Industri kreatif berbasis lokal semakin menunjukkan potensinya sebagai kekuatan ekspor baru. Tak hanya karena keunikannya, tetapi juga karena dunia kini sedang haus akan produk yang autentik, berkelanjutan, dan penuh makna. Produk-produk dari desa, yang dulu dianggap sederhana, kini justru menjadi ikon gaya hidup global.

Namun, jalan dari desa ke dunia bukan tanpa hambatan.

Bukan Tak Bisa, Tapi Tak Mudah

Banyak pelaku UMKM kreatif di daerah sebenarnya memiliki produk dengan kualitas dan cerita yang luar biasa. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka tersendat di tengah jalan. Mengapa?

Pertama, standar mutu internasional sering kali menjadi tembok tinggi. Produk kriya atau kuliner, misalnya, harus memenuhi spesifikasi teknis, keamanan bahan, hingga konsistensi produksi. Di sisi lain, legalitas usaha dan ekspor juga masih menjadi tantangan---banyak pelaku belum punya izin edar, sertifikasi halal, hingga NPWP.

Kedua, akses pasar global tidak bisa hanya mengandalkan semangat. Butuh pemahaman tentang tren pasar, cara negosiasi harga, pengemasan, dan tentu saja, jaringan distribusi.

Sebagaimana dicatat dalam laporan Kementerian Perdagangan (2024), dari lebih 64 juta UMKM di Indonesia, kurang dari 4% yang menembus pasar ekspor. Padahal, menurut data yang sama, produk UMKM menyumbang hingga 15,7% dari total nilai ekspor non-migas, dan tren ini meningkat tiap tahun.

Dukungan yang Mulai Terstruktur

Kabar baiknya, kesadaran akan potensi besar ini makin tumbuh. Pemerintah melalui Kemenparekraf, Kementerian Perdagangan, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mulai memperluas pendampingan UMKM untuk ekspor. Program seperti "Desa Devisa", "UMKM Naik Kelas", dan "Go Global" memberikan pelatihan branding, legalitas, hingga matching buyer internasional.

Sektor swasta juga tidak tinggal diam. Banyak marketplace seperti Tokopedia, Shopee, hingga platform seperti Etsy membuka jalur ekspor untuk produk lokal. Bahkan, sejumlah startup logistik mulai menyediakan layanan "end-to-end export" untuk pelaku kreatif dari desa.

Seperti kata Sandiaga Uno, Menteri Parekraf:

"Tantangan UMKM kita bukan pada kreativitas, tapi pada keberanian untuk melangkah dan kesiapan ekosistem untuk mendukung."

Cerita dari Lapangan: Ketika Produk Lokal Jadi Bintang Global

Dari Flores, seorang pengrajin tenun bernama Yohana berhasil menjual produknya ke Jepang. Berkat pelatihan dan bimbingan dari Dekranasda dan LPEI, ia kini memiliki merek sendiri yang dikenal di komunitas pecinta tekstil etnik di Tokyo.

Di Kalimantan Barat, kopi Liberika dari desa-desa di Sambas---yang dulu hanya dinikmati lokal---sekarang masuk ke specialty caf di Australia. Kunci keberhasilannya? Sertifikasi, storytelling yang kuat, dan pengemasan modern.

Songket Pandai Sikek: Benang Emas Menembus Pasar Global

Di lereng Gunung Singgalang, tepatnya di Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, suara alat tenun tradisional masih terdengar dari rumah-rumah gadang. Di sinilah songket Pandai Sikek---warisan budaya Minangkabau yang bernilai tinggi---dihasilkan secara turun-temurun.

Dulu, kain songket ini hanya dipakai dalam upacara adat. Tapi kini, berkat pendampingan dari Dekranasda Sumbar dan pelatihan ekspor dari LPEI, para penenun mulai menjual karya mereka ke pasar luar negeri. Salah satunya adalah Uni Murni, penenun lokal yang semula hanya menjual songketnya di pasar tradisional, namun kini rutin mengirim produk ke Jepang dan Malaysia.

Keberhasilan Uni tak datang tiba-tiba. Ia mengikuti pelatihan digital marketing, belajar soal pengemasan, dan memahami pentingnya cerita di balik motif---bahwa songket bukan sekadar kain, tapi simbol status, filosofi, dan jati diri Minangkabau.

Kini, songket Pandai Sikek hadir dalam bentuk yang lebih modern: clutch, jaket, dompet, hingga panel interior butik hotel. Semua tanpa menghilangkan esensi motif asli.

Sebagaimana pepatah Minangkabau mengingatkan:

"Sakali aia gadang, sakali tapian barubah."
(Setiap ada perubahan besar, pola hidup juga harus menyesuaikan)
Songket Pandai Sikek adalah contoh hidup bahwa tradisi dapat bertransformasi tanpa kehilangan akar, bahkan ketika melangkah ke pasar ekspor global.

Ekspor Tak Selalu Soal Skala, Tapi Soal Nilai

Banyak yang mengira ekspor berarti harus besar, pabrik, dan masif. Padahal dunia kini lebih menghargai produk kecil dengan cerita besar. Konsumen global mencari produk yang unik, ramah lingkungan, dan punya keterhubungan sosial.

Inilah kekuatan produk desa: mereka membawa cerita, filosofi, dan relasi manusia yang tak bisa dibuat pabrik. Sehelai tenun, sebatang keris, atau sekotak rendang---jika dikemas dan diposisikan dengan benar---bisa menjadi produk ekspor dengan nilai jauh melampaui harga.

Dalam riset saya tentang "Localized Value Chains in the Creative Economy" (2022), saya menemukan bahwa UMKM dengan pendekatan naratif dan kolaborasi lintas sektor mampu menaikkan nilai jual produk hingga 400% dibandingkan bentuk mentahnya.

Kesimpulan: Jalan Panjang yang Layak Diperjuangkan

Ekspor berbasis produk lokal bukan mimpi muluk. Tapi ia bukan juga jalan pintas. Ia butuh kemauan, pendampingan, dan keberanian untuk bertransformasi.

Dengan dukungan kebijakan yang tepat, keterlibatan swasta, dan semangat komunitas, desa-desa di Indonesia tidak hanya bisa bertahan---mereka bisa bersinar di pasar global.

Karena pada akhirnya, identitas adalah keunggulan. Dan produk yang berakar dari budaya, tak hanya laku---ia menginspirasi dunia.

Sudah punya songket? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun