Dahulu, songket Pandai Sikek hanya bisa dilihat langsung di Sumatera Barat. Sekarang, video proses menenunnya bisa ditonton jutaan orang lewat TikTok atau Instagram. AR (augmented reality) bahkan memungkinkan calon pembeli dari London melihat bagaimana sehelai kain ditenun dari awal.
Teknologi bukan musuh tradisi---ia bisa jadi penyambung nilai. Bekraf mencatat, pelaku kreatif yang mengintegrasikan digitalisasi mengalami peningkatan omzet rata-rata hingga 3 kali lipat dibandingkan pelaku non-digital.
Namun tentu tidak semua pelaku kreatif punya akses yang sama. Maka inisiatif seperti Desa Wisata Kreatif, pelatihan digital UMKM, dan pendampingan berbasis komunitas menjadi krusial agar tidak ada yang tertinggal.
Tradisi dan Inovasi: Bukan Dua Kutub yang Bertentangan
Menjaga budaya bukan berarti mematungkannya. Kita bisa tetap setia pada nilai leluhur, sambil membuka diri pada bentuk-bentuk baru. Kita tidak harus memilih antara pasar dan akar---justru kekuatan kita ada pada kemampuan mengakar sambil menjulang.
Pepatah Minang mengingatkan:
"Satiti bajalan, sakato bakato."
(Hati-hati dalam melangkah, sepakat dalam berbicara)
Industri kreatif adalah langkah baru bangsa ini. Tapi agar langkah itu tidak tersandung, kita harus menyusun pijakan yang kokoh: nilai budaya, inovasi berkelanjutan, dan keberpihakan pada pelaku lokal.
Merayakan Masa Depan yang Berakar
Kearifan lokal bukan beban masa lalu. Ia adalah bahan bakar untuk masa depan yang lebih berwarna. Bila kita mampu membumikan tradisi dalam bentuk-bentuk baru yang hidup di pasar dan di hati masyarakat, maka budaya kita tidak hanya bertahan---ia akan tumbuh dan menuntun.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya yang maju secara ekonomi, tapi juga yang tahu dari mana ia berasal.