Setiap kali Anda menyelusuri timeline media sosial, mencari resep masakan, atau sekadar menonton video kucing lucu, Anda sedang melakukan suatu bentuk "pekerjaan". Anda mungkin tidak merasa sedang bekerja, tetapi dalam diam, Anda sedang membajak, menanam, dan memanen di ladang data digital yang sangat luas. Hasil panennya---data tentang siapa Anda, apa yang Anda suka, dan apa yang akan Anda lakukan---adalah komoditas yang diperjualbelikan dengan nilai triliunan rupiah. Namun, sebagai sang petani, Anda tidak pernah sekalipun mendapat bagian dari hasil jualnya. Yang kita alami saat ini bukan hanya ketimpangan, melainkan sebuah eksploitasi tenaga kerja digital dalam skala yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah.
Fenomena ini adalah jantung dari paradoks ekonomi digital. Platform-platform digital besar mengibaratkan penggunanya sebagai "produk" yang dijual kepada pengiklan. Metafora ini, meski populer, tidak lagi cukup akurat. Anda lebih dari sekadar produk pasif; Anda adalah pekerja aktif yang tidak diakui. Setiap klik adalah sebuah "klik kerja" (click labour) yang memberikan umpan balik berharga untuk menyempurnakan algoritma. Setiap upload foto adalah "kerja kurasi" yang memperkaya konten platform dan membuatnya menarik bagi pengguna lain. Tanpa "pekerjaan" massal yang kita lakukan setiap hari secara gratis, seluruh menara ekonomi digital ini akan runtuh dalam sekejap.
Dampaknya adalah terciptanya sebuah ketergantungan ekonomi yang patologis. Platform menjadi semakin kaya dan powerful karena memiliki data yang kita hasilkan, sementara kita, para pekerja digital, hanya mendapatkan akses ke layanan sebagai "upah"-nya. Ini seperti sistem truck system atau barter pada zaman kolonial, di mana buruh perkebunan dibayar dengan voucher yang hanya bisa ditukar di koperasi milik perusahaan sendiri, bukan dengan uang tunai yang memiliki nilai universal. Kita terjebak dalam "ekosistem tertutup" dimana kita tidak pernah benar-benar memiliki nilai ekonomi yang kita ciptakan.
Teori Labour Theory of Value yang digagas oleh ekonom klasik menemukan relevansinya yang baru di era digital. Nilai sebuah platform tidak diciptakan oleh pemegang saham atau insinyurnya semata, tetapi terutama oleh juta-juta jam kerja tidak dibayar yang diinvestasikan oleh penggunanya untuk membuat platform itu hidup, relevan, dan kaya akan data. Kontribusi kita inilah yang seharusnya diakui sebagai nilai ekonomi, bukan hanya dimanfaatkan sebagai externalitas gratis.
Analisis terhadap masalah ini membawa kita pada sebuah solusi yang revolusioner: Mekanisme Royalti Data. Konsepnya bukan tentang menjual data pribadi, melainkan tentang mengakui kontribusi ekonomi kita. Pertama, melalui Skema Kompensasi Langsung. Platform dapat membagikan sebagian pendapatan iklannya kepada pengguna secara proporsional berdasarkan tingkat engagement dan data yang dihasilkan, dalam bentuk tunai atau kredit yang dapat ditukar di berbagai platform (bukan hanya satu platform). Kedua, melalui Dividen Data Sosial. Negara bisa mempelopori skema dimana sebagian pajak digital yang diterima dari platform-platform raksasa dialokasikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan kesehatan, pendidikan, atau tunjangan langsung---seperti bagi hasil keuntungan dari sumber daya alam. Ketiga, Koperasi Data Pengguna. Masyarakat dapat membentuk koperasi yang mengumpulkan dan mengelola data anggotanya secara kolektif dan bernegosiasi dengan platform dari posisi yang setara, mirip dengan serikat pekerja di dunia fisik.
Argumentasi bahwa skema ini akan menghancurkan model bisnis internet adalah keliru. Yang akan hancur adalah model bisnis yang bergantung pada eksploitasi. Model baru akan lahir: model yang lebih adil, berkelanjutan, dan berdasarkan pada kemitraan yang setara antara platform dan pengguna. Ini justru akan mendorong inovasi yang lebih etis dan kompetisi yang lebih sehat.
Oleh karena itu, call for action-nya adalah: Sudah waktunya kita tidak hanya menjadi konsumen atau produk, tetapi menjadi pemegang saham dari ekonomi digital yang kita bangun bersama. Mari kita mulai mendorong regulasi yang mengakui "hak royalti data" sebagai bagian dari hak asasi manusia digital. Mari kita ubah narasi dari sekadar "perlindungan data" menuju "pemulihan nilai data" (data value restitution). Setiap klik Anda memiliki nilai. Setiap data yang Anda hasilkan adalah tenaga kerja. Dan sudah saatnya Anda dibayar untuk itu. Bangunlah kesadaran bahwa kita adalah kelas pekerja digital, dan bersatulah untuk menuntut pengakuan atas nilai yang kita ciptakan. Masa depan ekonomi digital haruslah dibangun di atas fondasi keadilan, bukan eksploitasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI