Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Ulang Proklamasi : Makna yang Terkubur dalam Kata-Kata Soekarno

11 Agustus 2025   11:46 Diperbarui: 11 Agustus 2025   11:46 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia."

Kalimat ini sederhana, tapi secara linguistik, ia adalah pernyataan performatif. Dalam teori speech act oleh John Austin, ini disebut tindak tutur deklaratif---bukan hanya menyampaikan sesuatu, tapi mengubah status realitas. Kata-kata ini tidak sekadar narasi; ia menciptakan negara.

Menariknya, subjek dalam kalimat ini bukan "kami para pemimpin" atau "kami Sukarno dan Hatta", tapi "kami bangsa Indonesia". Di sini, Sukarno menghilangkan egonya. Ia tidak bicara atas nama tokoh. Ia bicara atas nama rakyat. Pilihan ini bukan gaya. Ini adalah strategi representasi yang membangun legitimasi rakyat secara simbolik.

Kalimat kedua:

"Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Di sinilah letak ironi tersembunyi. Kalimat ini adalah pengakuan bahwa kemerdekaan adalah proses yang belum selesai. Kata "diselenggarakan" menunjukkan tindakan yang belum terjadi. Kalimat ini seperti ruang hampa yang menunggu diisi: oleh diplomasi, perundingan, bahkan perang.

Dalam semiotik, ini disebut "lukisan negatif"---ruang kosong yang justru bermakna. Sukarno tidak menjanjikan tuntasnya perjuangan; ia mengakui bahwa kita sedang memasuki ketidakpastian.

Diam yang Penuh Suara: Politik Penghapusan dalam Teks

Hal yang paling mencolok dari teks Proklamasi bukan hanya apa yang tertulis, tapi apa yang tidak tertulis.

Tidak ada penyebutan Jepang. Tidak ada celaan terhadap Belanda. Tidak ada simbol ideologi atau agama. Ini bukan karena lalai. Ini adalah bentuk penghapusan strategis. Sukarno dan Hatta tahu: menyebut Jepang berarti mengundang reaksi militer. Menyebut Belanda berarti memberi ruang kepada masa lalu dalam teks kelahiran bangsa.

Dalam dunia semiotik, ini disebut strategi keheningan (strategic silence). Ia adalah bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata, tetapi tetap menyampaikan makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun