Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Nature

Benarkan Energi Surya Lebih Ekonomis daripada Batubara?

21 Juli 2025   19:06 Diperbarui: 21 Juli 2025   19:06 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua tahun silam, saya berdiri di dua lokasi yang memantik pertanyaan mendasar tentang masa depan energi kita. Pertama, di tepi PLTU berkapasitas raksasa, cerobongnya menjulang menghembuskan asap pekat, suara gemuruh mesinnya tak henti. Lalu, di sebuah desa terpencil yang baru teraliri listrik berkat hamparan panel surya di atas balai warga, menyala tanpa gebukan. Seorang anak kecil dengan mata berbinar membuka buku pelajarannya di malam hari untuk pertama kalinya. Kedua gambar ini mewakili pilihan krusial: energi masa lalu yang akrab tapi sarat beban, versus energi masa depan yang bersih namun sering dianggap mahal. Sebagai ekonom industri yang menghabiskan karier meneliti kebijakan energi, klaim klasik bahwa "batubara lebih ekonomis" perlu kita bedah dengan pisau analisis yang tajam dan jujur. Mana yang sesungguhnya lebih ringan bagi kantong rakyat dan perekonomian bangsa dalam jangka panjang? Jawabannya ternyata lebih kompleks---dan mengejutkan---daripada sekadar membandingkan harga per kilowatt-hour di kertas tagihan.

Membedah "Harga": Hitung-hitungan Langsung yang Tak Lagi Sepihak

Selama puluhan tahun, keekonomian batubara bertumpu pada hitung-hitungan langsung yang sempit: biaya pembangunan pembangkit (CAPEX) yang relatif terjangkau, bahan bakar yang murah dan melimpah di tanah air, serta biaya operasi yang stabil. Ini menghasilkan metrik kunci bernama Levelized Cost of Electricity (LCOE)---rata-rata biaya produksi listrik per kWh sepanjang usia pembangkit. Data global mutakhir, seperti laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) 2024, menunjukkan pergeseran seismik. LCOE untuk pembangkit surya skala utilitas telah anjlok lebih dari 85% dalam dekade terakhir. Di banyak wilayah tropis seperti Indonesia, dengan intensitas matahari tinggi, LCOE surya skala besar kini bersaing ketat, bahkan dalam beberapa proyek terkini mulai lebih rendah, dibandingkan dengan LCOE pembangkit batubara baru. Revolusi teknologi panel surya, efisiensi produksi, dan skala ekonomi telah mengubah peta persaingan. Batubara tak lagi menjadi juara mutlak dalam lomba biaya langsung.

Namun, inilah jebakan pertama: membandingkan LCOE surya dan batubara seringkali seperti membandingkan apel dan jeruk jika kita mengabaikan keranjang sampah yang tersembunyi. Kalkulasi LCOE tradisional untuk batubara biasanya abai pada biaya tersembunyi yang ditanggung masyarakat---apa yang kami ekonom sebut eksternalitas negatif.

Biaya Tersembunyi Batubara: Dosa yang Ditanggung Bersama

Bayangkan membeli mobil bekas murah, tapi mengabaikan biaya bensin yang boros, servis rutin yang mahal, dan potensi denda polusi yang suatu saat harus dibayar. Inilah analogi batubara. "Keekonomisan"-nya yang semu terbangun karena kita memindahkan sebagian besar biaya sebenarnya ke pundak lain:

  1. Biaya Kesehatan: Polusi udara dari PLTU (partikulat halus PM2.5, SOx, NOx) adalah pembunuh senyap. Riset ilmiah konsisten menghubungkannya dengan penyakit pernapasan (asma, bronkitis), jantung, stroke, hingga kematian dini. Biaya pengobatan, hari kerja yang hilang, dan penurunan produktivitas ini ditanggung oleh masyarakat dan sistem kesehatan nasional, bukan oleh pembangkit atau konsumen listriknya. Studi Bank Dunia memperkirakan biaya kesehatan dan kerugian produktivitas akibat polusi udara di Indonesia mencapai miliaran dolar AS per tahun---sebagian besar disumbangkan PLTU.
  2. Biaya Lingkungan: Kerusakan ekosistem dari pertambangan batubara (deforestasi, pencemaran air tanah), dampak perubahan iklim akibat emisi CO2 yang masif (banjir, kekeringan, gagal panen, kerusakan infrastruktur), dan biaya rehabilitasi lahan tambang adalah beban berat yang diwariskan ke generasi mendatang. Siapa yang membayar tagihan bencana iklim yang semakin sering ini?
  3. Biaya Sosial & Subsidi Terselubung: Pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk menanggulangi dampak kesehatan dan lingkungan tadi. Belum lagi subsidi tidak langsung untuk bahan bakar fosil (meski berkurang, masih ada) dan potensi stranded assets jika PLTU harus pensiun dini akibat regulasi iklim. Ini adalah bentuk subsidi terselubung yang mendistorsi pasar.

Ketika seluruh biaya tersembunyi ini dimasukkan dalam kalkulasi (Full Cost Accounting), gambaran "keekonomian" batubara berubah drastis. Sejumlah studi internasional menunjukkan bahwa biaya sebenarnya listrik batubara bisa 2-3 kali lipat lebih tinggi dari LCOE konvensionalnya. Surya, dengan emisi nol saat operasi dan minim dampak kesehatan lokal, tiba-tiba menjadi jauh lebih kompetitif dalam perhitungan yang jujur ini.

Tantangan Surya: Intermitensi dan Biaya Sistem

Tentu, tantangan besar surya adalah sifatnya yang intermiten---bergantung pada matahari. Ini bukan soal "mahal/murah" panelnya, tetapi biaya untuk menjamin pasokan listrik stabil 24/7. Di sinilah muncul konsep System Levelized Cost atau biaya di tingkat sistem. Integrasi PLTS skala besar ke grid memerlukan investasi tambahan:

  • Penyimpanan Energi (Baterai): Teknologi baterai, terutama lithium-ion, harganya juga turun signifikan (~90% dalam 10 tahun), namun masih menambah biaya sistem. PLTS + Baterai memang memiliki LCOE lebih tinggi daripada PLTS saja, namun tren penurunan biaya baterai terus berlanjut.
  • Jaringan Listrik Pintar (Smart Grid) & Backup: Grid perlu diperkuat dan dibuat lebih "pintar" untuk mengelola fluktuasi. Pembangkit lain (misalnya, gas yang lebih fleksibel atau PLTA) mungkin masih dibutuhkan sebagai cadangan. Biaya pengembangan dan operasional grid ini perlu diperhitungkan.

Namun, penting dicatat: Biaya sistem ini bukan eksklusif untuk menambah surya, tetapi untuk menciptakan sistem kelistrikan yang lebih tangguh dan modern. Sistem berbasis batubara yang kaku juga memiliki kerentanan (ketergantungan impor batubara, risiko gangguan pasokan, biaya penyesuaian dengan regulasi emisi) yang memerlukan investasi. Selain itu, surya skala kecil (atap rumah, industri) yang tersebar justru dapat meningkatkan ketahanan sistem (grid resilience) dengan mengurangi ketergantungan pada pembangkit sentral besar.

Proyeksi Masa Depan: Momentum Tak Terbendung Surya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun