Saya masih ingat, suatu sore di kawasan SCBD Jakarta, saya duduk di sebuah kedai kopi lokal yang sedang naik daun: Kopi Kenangan. Di sebelah saya, dua anak muda---mungkin karyawan startup---sedang membahas rencana ekspansi bisnis mereka sambil menyeruput Es Kopi Kenangan Mantan. Harganya separuh dari Starbucks, tapi atmosfernya tak kalah trendi. Di luar jendela kaca, logo hijau perempuan laut dari Seattle itu tetap bersinar, tapi pengunjungnya justru tampak lebih tua, lebih konvensional, lebih global, tapi kurang "kekinian."
Fenomena ini menarik. Bagaimana mungkin brand lokal seperti Kopi Kenangan, yang baru berdiri sekitar tahun 2017, bisa menantang dominasi Starbucks yang telah berakar di lebih dari 80 negara dan beroperasi di Indonesia sejak 2002? Apakah ini hanya soal harga? Atau ada sesuatu yang lebih dalam---soal identitas, kultur, dan strategi merek?
Pertumbuhan Kopi Kenangan bukanlah anomali, melainkan gejala dari pergeseran perilaku konsumen urban Indonesia yang semakin haus akan pengalaman yang relevan secara budaya. Di tengah kejenuhan akan merek-merek global yang seragam, muncul kebutuhan akan sesuatu yang lebih personal, lebih dekat dengan lidah dan hati orang Indonesia. Es kopi susu gula aren bukan hanya minuman---ia adalah narasi yang mengikat antara cita rasa lokal dan gaya hidup modern.
Di sisi lain, Starbucks memang tetap memikat dengan citra globalnya---simbol status, tempat pertemuan yang "kelas atas", dan konsistensi kualitas. Tapi justru di sanalah celahnya. Karena ketika semua tempat Starbucks terasa sama di Tokyo, London, dan Surabaya, maka brand seperti Kopi Kenangan justru bisa tampil sebagai alternatif yang lebih otentik, lebih terhubung secara emosional dengan konsumen lokal.
Secara teori ekonomi industri, ini adalah contoh klasik dari market segmentation yang cerdas. Alih-alih melawan Starbucks dalam skala dan sumber daya, Kopi Kenangan memilih bertarung di medan identitas. Ia membangun brand bukan dari atas ke bawah, tapi dari keseharian: dari obrolan warung, dari meme di media sosial, dari pengalaman anak muda urban yang ingin tampil gaya tanpa merasa sedang "meniru Barat."
Kekuatan Kopi Kenangan juga terletak pada pemahaman tajam terhadap teknologi. Mereka mengintegrasikan aplikasi pemesanan, sistem loyalitas pelanggan, dan data-driven marketing secara efektif. Bahkan dalam beberapa hal, mereka lebih cepat dari Starbucks dalam mengadopsi strategi new retail---menggabungkan pengalaman digital dan fisik untuk menciptakan kenyamanan maksimal. Tak heran, mereka berhasil menarik investasi besar dari firma modal ventura asing, membuktikan bahwa brand lokal pun bisa tampil sebagai pemain regional, bahkan global.
Namun kemenangan brand lokal tidak datang hanya dari inovasi dan digitalisasi. Ada satu komponen kunci yang sering diabaikan: keberanian untuk membangun merek yang punya karakter kuat. Kopi Kenangan berani bermain dengan nama-nama nyeleneh, menggoda emosi, memanfaatkan budaya populer. Mereka paham bahwa di era ekonomi kreatif, produk hanyalah pintu masuk---yang dijual sesungguhnya adalah cerita, gaya hidup, dan afiliasi emosi.
Tapi jangan salah, brand lokal tak boleh cepat puas. Setelah sukses menaklukkan pasar domestik, tantangan sesungguhnya baru dimulai: ekspansi ke pasar internasional. Di sinilah banyak brand lokal terpeleset. Membawa cita rasa lokal ke luar negeri butuh lebih dari sekadar optimisme. Butuh riset budaya, adaptasi produk, dan kemampuan membaca selera pasar global yang sangat bervariasi.
Kemenangan brand lokal atas raksasa global bukanlah cerita David melawan Goliath yang diulang mentah. Ini adalah cerita tentang kejelian membaca momen, memahami pasar, dan mengeksekusi strategi yang relevan. Dan yang paling penting, ini adalah cerita tentang keberanian menjadi diri sendiri di tengah gempuran imitasi global.
Bagi pelaku UMKM di sektor ekonomi kreatif, kisah Kopi Kenangan ini harus menjadi inspirasi. Bahwa kita tak perlu meniru sepenuhnya agar bisa bersaing. Justru dengan menjadi otentik, kita punya daya saing tersendiri. Kuncinya adalah positioning yang kuat, pemahaman mendalam terhadap perilaku konsumen lokal, serta keberanian untuk bermain dalam lanskap budaya.
Saya ingin menyerukan kepada para pengusaha muda, pemilik UMKM, dan para pelaku ekonomi kreatif: jangan remehkan kekuatan lokalitas. Jangan anggap remeh nilai cerita yang melekat pada produk Anda. Di era di mana semua orang bisa meniru fitur dan harga, satu-satunya pembeda yang tak bisa ditiru adalah identitas.