Di Balik Senyum Tukang Parkir: "Pion" dalam Rantai Ketimpangan dan Jalan Menuju Keadilan
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, tukang parkir menjadi salah satu sosok yang sering kita jumpai sehari-hari. Mereka berdiri dengan sabar di pinggir jalan, menyambut pengendara dengan senyum ramah sambil menawarkan jasa mereka. Senyum itu memberi kesan keramahan dan kenyamanan bagi banyak orang. Namun, di balik senyum yang tulus itu, tersimpan realitas yang jauh lebih kompleks dan menyedihkan.
Fenomena tukang parkir sebagai "pion" dalam sebuah rantai kuasa dan ketimpangan sosial adalah gambaran nyata tentang bagaimana kelompok pekerja informal sering kali berada pada posisi rentan dan terperangkap dalam sistem yang tidak adil. Mereka bukanlah aktor utama, melainkan hanya bagian kecil dari mesin yang lebih besar --- sebuah sistem yang menuntut mereka menyetor uang kepada pihak-pihak yang menguasai wilayah parkir, seperti oknum aparat, preman, atau kelompok tertentu yang berkuasa secara informal.
Realitas Menombok Setoran
Kenyataan pahitnya, banyak tukang parkir harus rela "menombok" setiap hari, artinya penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup setoran yang harus dibayarkan. Ini menjadi beban tambahan yang semakin menekan kehidupan mereka. Bayangkan, sudah bekerja dari pagi hingga malam, dengan pendapatan yang tidak menentu, harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri hanya agar bisa tetap "berjualan" jasa parkir.
Selain itu, sebagian dari mereka tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial yang memadai. Tidak ada jaminan kesehatan, asuransi, maupun hak-hak pekerja yang seharusnya mereka dapatkan jika mereka bekerja di sektor formal. Ketidakpastian ini semakin memperburuk posisi mereka dalam siklus kemiskinan dan ketimpangan.
Ketidakadilan Tambahan: Mobil Plat Merah yang Bebas Biaya Parkir
Kondisi tukang parkir semakin diperumit dengan keberadaan kendaraan dinas berplat merah yang parkir tanpa membayar biaya parkir. Fenomena ini bukan hanya merugikan secara ekonomi bagi tukang parkir yang menggantungkan hidup dari uang parkir, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang jelas di mata masyarakat.
Kendaraan dinas yang parkir gratis ini menjadi simbol perlakuan istimewa yang bertolak belakang dengan prinsip kesetaraan di ruang publik. Jika warga biasa harus membayar, mengapa kendaraan pemerintah yang menggunakan fasilitas yang sama dibebaskan dari kewajiban tersebut? Ketimpangan ini menjadi salah satu bentuk diskriminasi sosial yang kerap dikeluhkan, namun jarang mendapat perhatian serius dari pihak terkait.
Dampak Sistemik dari Tata Kelola Parkir yang Lemah
Fenomena tukang parkir sebagai "pion" dalam sistem setoran dan ketidakadilan ini tidak bisa dilepaskan dari buruknya tata kelola ruang publik dan sistem parkir di banyak kota. Kurangnya pengawasan, lemahnya regulasi, serta minimnya perlindungan bagi pekerja informal membuat ruang bagi praktik-praktik tidak sehat seperti pemungutan liar dan tekanan dari oknum berkuasa.