Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Garam dan Bitcoin : Sejarah Berulang Saat Negara Menentukan "Apa yang Berharga".

29 Mei 2025   09:07 Diperbarui: 29 Mei 2025   09:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di abad ke-17, seorang petani Prancis bisa digantung karena menyelundupkan sekarung garam. Hari ini, di China, seorang trader crypto menghadapi 10 tahun penjara karena bertransaksi Bitcoin. Dua era berbeda, satu logika yang sama: negara berusaha mengontrol alat tukar yang dianggap mengancam kedaulatannya. Garam dan crypto mungkin tampak tak ada hubungannya---satu benda fisik, satu digital---tapi keduanya adalah senjata dalam perang abadi tentang siapa yang berhak mencipta nilai.

Prancis era Louis XIV punya skema cerdas bernama gabelle: monopoli garam negara. Rakyat wajib beli garam dari gudang kerajaan dengan harga 20 kali lipat biaya produksi. Mengapa? Garam saat itu adalah "mesin cetak uang" abad pertengahan---pengawet makanan, bahan baku industri, bahkan alat bayar upah tentara. Dengan menguasai garam, kerajaan mengontrol tiga pilar ekonomi: pangan, produksi, dan militer. Data sejarawan ekonomi Fernand Braudel (1979) menunjukkan: pajak garam menyumbang 6% pendapatan nasional Prancis---setara APBN pertahanan modern.

Lompat ke abad ke-21. China melarang semua transaksi kripto pada 2021. Alasannya? "Stabilitas keuangan nasional". Tapi di balik itu, tersembunyi pertaruhan besar. Yuan digital (e-CNY) yang dikembangkan People's Bank of China adalah gabelle versi digital. Dengan memblokir bitcoin, pemerintah memaksa warga menggunakan e-CNY---mata uang yang bisa dipantau setiap transaksinya, dibekukan sewaktu-waktu, dan diatur suplainya seperti kerajaan mengontrol tambang garam. Bedanya, jika Prancis butuh tentara untuk razia garam, China cukup pasang firewall digital.

Mekanisme kontrolnya pun paralel. Prancis membangun greniers sel (gudang garam kerajaan) di setiap provinsi. China menciptakan mining farms negara---setelah melarang penambangan swasta, mereka kuasai 21% hashrate global via perusahaan negara (Journal of Financial Regulation, 2023). Keduanya memonopoli "produksi nilai". Garam di Prancis abad 18 dan data di server negara abad 21 sama-sama komoditas buatan penguasa.

Tapi resistensi manusia selalu kreatif. Penyelundup garam Prancis membuat lorong rahasia di bawah gudang kerajaan. Trader crypto China pakai VPN dan dompet digital tersembunyi. Ekonom David Graeber dalam Debt: The First 5000 Years (2011) menyebut ini pola abadi: "Ketika negara menciptakan uang, pasar gelap menciptakan kontra-uang." Di Bali tahun 2023, turis Australia membayar villa pakai USDT---mirip petani abad 17 bayar garam ilegal dengan emas batangan.

Di sinilah letak paradoksnya. Semakin keras negara menekan alat tukar alternatif, semakin tinggi nilainya. Harga garam ilegal di pasar gelap Prancis 1680 mencapai 30 livre per kilogram---setara upah 3 bulan buruh. Bitcoin di China pasca-larangan malah naik 20% (CoinDesk, 2021). Kelangkaan buatan negara justru memicu apresiasi liar.

Lalu di mana peran Indonesia? Kita punya sejarah unik: garam pernah jadi alat perlawanan. Saat Belanda monopoli garam abad 19, petani Rembang menciptakan "garam inyak" dari air kelapa---prototipe cryptocurrency lokal. Hari ini, kebijakan kita terjepit antara dua kutub. Di satu sisi, Bank Indonesia melarang crypto sebagai alat pembayar. Di sisi lain, Bappebti mengizinkannya sebagai komoditas investasi. Inilah "zona abu-abu" ala Nusantara---tak sekeras China, tapi tak juga membebaskan.

Pelajaran dari dua era ini jelas: uang adalah konsensus sosial, bukan dekret negara. Prancis akhirnya menghapus gabelle tahun 1946 setelah 300 tahun perlawanan rakyat. China mungkin akan menghadapi nasib serupa---riset MIT (2024) memprediksi larangan crypto kolaps dalam 10 tahun karena tekanan teknologi dan pasar.

Bagi Indonesia, inilah kesempatan emas. Daripada ikut larang atau monopoli, kita bisa jadi penengah. Bayangkan desa di Flores menerbitkan token wisata berbasis blockchain yang di-backup nilai tenun ikatnya. Atau petani garam Madura punya stablecoin tersambung harga garam global. Kuncinya: negara jadi fasilitator, bukan tuan monopoli.

Sejarah membuktikan: apa pun bentuknya---garam, emas, atau bitcoin---manusia akan selalu mencipta alat tukar yang lepas dari kendali pusat. Seperti kata ekonom peraih Nobel Douglass North: "Uang adalah teknologi sosial tertua, dan negara hanyalah salah satu pemain."

Tantangan kita kini bukan memilih antara larangan atau kebebasan, tapi merancang sistem dimana kepentingan negara dan inovasi warga bisa koeksis. Sebab di masa depan, nilai tak lagi ditentukan oleh istana atau server pusat, tapi oleh jaringan manusia yang saling percaya.


Sumber Akademik:

  • Graeber, D. (2011). Debt: The First 5000 Years
  • Braudel, F. (1979). Civilization and Capitalism, 15th--18th Century
  • Journal of Financial Regulation (2023). State-controlled Mining: China's Crypto Strategy
  • MIT Digital Currency Initiative (2024). The Futility of Crypto Bans
  • Arsip Historis Kebijakan Garam Indonesia (KITLV)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun