NAMA Â Â Â Â : Syahwa Aulia Novianti
NIM Â Â Â Â Â Â : 43225010045
MATKUL Â : Etik Mercu BuanaÂ
Teks ini juga memberikan pemahaman penting bahwa relevansi pemikiran Stoik tidak terletak pada optimisme yang berlebihan, melainkan pada penerimaan kenyataan dengan pikiran yang tenang dan memilih perspektif yang rasional dan konstruktif. Ini menghindarkan Stoisisme dari sekadar optimisme buta dan menegaskan posisinya sebagai bentuk realisme yang tegar. "Kamu memiliki kendali atas pikiranmu -- bukan pada kejadian di luar. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan," adalah ringkasan yang tepat.Â
Ungkapan ini menjanjikan kekuatan (ketenangan dan ketahanan) sebagai hasil langsung dari kesadaran akan pikiran kita. Secara keseluruhan, tulisan ini berhasil menyampaikan inti dari pemikiran Marcus Aurelius dan Stoisisme: bahwa ketenangan batin (eudaimonia) merupakan hasil dari disiplin mental yang rasional. Pemikiran ini menjadi landasan filosofis bagi banyak terapi kognitif modern, termasuk REBT dan CBT, menjadikannya konsep yang abadi dan sangat relevan dalam menghadapi stres dan tantangan kehidupan.
Teks ini memberikan contoh nyata dari inti pemikiran Stoisisme, terutama ajaran Marcus Aurelius, yang menyatakan bahwa ketenangan dan efisiensi dalam hidup diperoleh melalui pengendalian reaksi internal, bukan melalui kejadian dari luar diri. Bagian ini menggambarkan cara mengimplementasikan prinsip Stoik dalam konteks profesional dan hubungan kerja. Kejadian dari luar tersebut berupa perintah atau keputusan dari atasan yang bisa terasa "memberatkan" atau tidak mudah. Bagian ini menunjukkan bagaimana prinsip Stoik dapat digunakan saat menghadapi ketegangan emosional dan provokasi dari orang lain.
Poin pentingnya adalah bahwa "kita tidak dapat mengatur tindakan orang lain, namun kita dapat mengatur pikiran dan reaksi kita. " Ini merupakan inti dari Disiplin Tindakan Stoik.
Dengan mengelola emosi dan tidak merespons dengan cara negatif, situasi dapat tetap aman. Sebagai refleksi singkat, dikutip dari Marcus Aurelius: "Balas dendam terbaik adalah dengan tidak menjadi seperti musuhmu. " Ini menegaskan bahwa kekuatan terbesar terletak pada kemampuan untuk tidak membiarkan emosi negatif orang lain mengontrol pikiran dan tindakan kita, yang akhirnya melatih kesabaran dan ketahanan mental.
Teks ini memperkenalkan Metode Conversio dalam kerangka Stoisisme, yang secara harfiah berarti "perubahan" atau "membalikkan," dan dengan efektif menggambarkan inti dari filosofi Marcus Aurelius. Poin penting dalam teks ini adalah penekanan bahwa Conversio bukan hanya sekadar menyerah, tetapi merupakan perubahan yang terjadi di dalam diri. Ini sangat penting. Stoisisme sering kali dipahami secara keliru sebagai sikap tidak peduli atau pasrah terhadap takdir. Teks ini mengklarifikasi pandangan tersebut, menjelaskannya sebagai suatu proses aktif di mana individu dengan sadar menentukan cara mereka merespons kenyataan.
Hidup dengan damai di dunia yang tidak sempurna dengan menekankan hal-hal yang bisa kita kendalikan. Ini menjadikan Conversio sebagai alat mental yang praktis dan realistis, yang memungkinkan kita untuk memaksimalkan kebahagiaan meskipun dalam situasi yang kurang ideal.
Teks ini dengan tepat menggambarkan Metode Conversio sebagai perubahan perspektif dari dunia luar menuju dunia dalam, menekankan bahwa untuk mencapai perubahan yang sebenarnya dan ketenangan batin, diperlukan usaha intelektual dalam mengubah cara kita memahami kenyataan. Ini adalah dasar dari ketahanan mental dan merupakan ringkasan yang sangat kuat dari ajaran Stoa
Teks ini memiliki pendidikan yang sangat berharga karena tidak hanya membahas tentang teori, tetapi juga menawarkan panduan praktis untuk memindahkan kesadaran dari aspek eksternal ke internal, yaitu mengubah keinginan untuk mengatur dunia menjadi kemampuan untuk mengatur diri sendiri. Ini sangat penting untuk mendapatkan ketenangan jiwa. Bagaimana ajaran Stoikisme (melalui konser Conversio) mengajarkan kita untuk mengelola reaksi dan penilaian dalam rangka menghindari pertikaian dan mendapatkan kedamaian.
Teks ini mengandung penjelasan yang jelas mengenai Askesis sebagai pendekatan untuk melatih jiwa dan pikiran dalam rangka mencapai kebijaksanaan dan ketenangan di dalam diri. Ini secara langsung menyoroti tujuan praktis dari latihan ini. Referensi terhadap Marcus Aurelius sebagai seorang kaisar yang memanfaatkan askesis untuk mengatasi stres, peperangan, serta tanggung jawab besar sangatlah mengesankan. Pernyataan yang diambil dari Marcus Aurelius, "Pikiran harus berdiri tegak, bukan ditegakkan oleh orang lain," menjadi penutup yang kuat. Pernyataan ini merangkum seluruh inti dari askesis: kemandirian berpikir. Ini menekankan bahwa ketenangan dan integritas mental seharusnya bersumber dari dalam diri (disiplin diri), bukan tergantung pada faktor eksternal atau pengaruh dari luar.
Pembagian konsep ini menjadi dua poin utama, Fortuna dan Virtue, merupakan metode yang sangat efisien dalam menjelaskan ide ini. Setiap poin dalam kategori ini memberikan penjelasan lebih rinci tentang karakteristik serta contohnya (misalnya, Fortuna meliputi cuaca, penyakit, dan pendapat orang lain, sementara Virtue meliputi pikiran, sikap, dan respon). Kutipan dari Marcus Aurelius, "Kamu memiliki kekuatan atas pikiranmu -- bukan pada peristiwa luar," menjadi titik puncak dari seluruh diskusi. Kutipan ini secara ringkas dan tegas menegaskan bahwa kekuatan sejati berasal dari pengendalian diri (Virtue). Pengajaran ini menjadi landasan bagi siapa saja yang ingin mengurangi rasa cemas dan stres, karena mengajarkan bahwa penerimaan yang tenang terhadap hal-hal yang tak dapat dihindari (Fortuna) adalah kunci untuk mencegah penderitaan.
Sebuah contoh yang sangat umum dan bisa dirasakan adalah situasi seorang karyawan yang memiliki dedikasi tinggi tetapi tidak mendapatkan promosi, yang menunjukkan bagaimana ajaran Stoikisme dapat membantu mengurangi perasaan kecewa dan frustrasi.
Ringkasan pada bagian akhir teks ini dengan jelas menyampaikan poin-poin penting: Askesis mengajarkan pentingnya pengendalian diri, tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal luar, dan menekankan pada prinsip moral.
Sensasi: Didefinisikan secara akurat sebagai reaksi awal, spontan, dan netral dari tubuh terhadap rangsangan luar (misalnya, kaget, panas). Ini diakui sebagai proses biologis yang tidak dapat dihindari.
Emosi: Didefinisikan secara kritis sebagai reaksi psikologis yang muncul setelah kita menilai sensasi tersebut secara mental. Ini menekankan bahwa emosi adalah hasil dari penilaian (judgment) yang kita berikan, bukan sensasi itu sendiri.
teks ini sangat instruktif dan mendalam. Pemahaman ini adalah kunci bagi pengendalian diri Stoik, karena dengan membedakan sensasi dari emosi, seseorang dapat belajar untuk mengendalikan penilaian dan, akibatnya, mengendalikan respons emosional mereka.
Teks ini memperkenalkan istilah kunci seperti Aisthesis (Sensasi), Pathos (Emosi/Penderitaan), ataraxia (ketenangan batin), dan prosoches (kesadaran rasional), yang memperluas wawasan akademis mengenai konsep tersebut. Poin-poin yang menjelaskan keuntungan dari membedakan keduanya (seperti, menghindari reaksi impulsif dan mencapai ataraxia/ketenangan batin) menunjukkan tujuan akhir dari latihan mental ini. Ini mengajarkan bahwa pengendalian diri membawa kepada kebebasan mental.
Sebuah panduan terstruktur dan praktis yang sangat mendetail untuk mengimplementasikan pembagian Sensasi-Emosi dalam kehidupan sehari-hari, mengajarkan pembaca untuk menjadi penguasa pikiran dan tindakan mereka sendiri, alih-alih terjebak dalam emosi.
Teks ini dengan tepat merangkum pokok utama dari ajaran Epictetus: bahwa penderitaan serta kebahagiaan bukan ditentukan oleh situasi eksternal, melainkan oleh penilaian kita terhadap keadaan tersebut. Kesimpulan mengenai kebahagiaan sejati yang dicapai melalui perhatian pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menerima dengan lapang dada hal-hal yang tidak bisa kita ubah adalah ringkasan yang ideal dan praktis. Teks ini berfungsi sebagai pengantar yang sangat baik, menangkap intisari filosofi Epictetus dan signifikansi ajarannya untuk kebebasan jiwa serta pengendalian diri saat menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Kutipan penting, "Bukan apa yang terjadi padamu, tetapi bagaimana kau bereaksi terhadapnya yang menjadi perhatian," adalah inti dari Stoikisme. Teks ini dengan akurat mengenali pernyataan tersebut sebagai ajaran mengenai pengendalian diri dan kebebasan batin. Pesan yang disampaikan sangat jelas: penderitaan tidak timbul dari situasi eksternal, melainkan dari pandangan negatif kita sendiri terhadap situasi tersebut. Teks ini berfungsi sebagai dorongan instan bagi pembaca untuk menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan di dalam diri untuk menentukan pengalaman hidup mereka. Ini mengalihkan fokus dari upaya mengendalikan dunia luar menuju mencari kendali atas diri pribadi.
Penggunaan format Reaksi Umum (tanpa Stoikisme) dibandingkan dengan Reaksi Stoik (menurut Epictetus) terbukti sangat berguna. Ini secara jelas menggarisbawahi perbedaan penting antara respon yang didorong emosi (seperti kekecewaan, rasa iri, menyalahkan) dan reaksi yang lebih rasional yang berfokus pada pengendalian diri (seperti berpikir positif dan memperbaiki diri). Kutipan dari Epictetus, "Tidak ada manusia yang benar-benar bebas kecuali ia menguasai dirinya sendiri," menjadi puncak yang sangat tepat. Pernyataan ini menjelaskan bahwa kebebasan sejati bukan diartikan sebagai kebebasan dari batasan eksternal, melainkan sebagai pembebasan dari belenggu emosi internal. Walaupun ada sedikit pengulangan di bagian Kasus dan Kesimpulan di tengah dan akhir teks, pengulangan ini berfungsi untuk menegaskan pesan inti dan memastikan pemahaman yang mendalam tentang dikotomi kendali (yaitu memisahkan antara apa yang dapat dan tidak dapat dikendalikan) tertanam dengan baik dalam pikiran pembaca.
Teks ini dengan berhasil mengoreksi pemahaman yang keliru yang umum beredar tentang The Will to Power dengan menyoroti bahwa konsep ini tidak sekadar keinginan untuk memperoleh kekuasaan dalam ranah politik atau fisik. Sebaliknya, ini adalah naluri fundamental kehidupan untuk tumbuh, mencipta, dan menegaskan keberadaan diri. Ini merupakan penjelasan yang tepat dari sudut pandang filosofis. Uraian tentang The Will to Power sebagai suatu energi konstruktif, sumber inovasi, dan kebebasan sangatlah memuaskan dan memberikan perbedaan yang tajam terhadap pemahaman yang lebih dangkal. Secara keseluruhan, teks ini merupakan rangkuman yang sangat ringkas dan memberikan pencerahan tentang dua pilar pemikiran Nietzsche, yang mengajak pembaca untuk memperhatikan kekuatan internal (Will to Power) dan selanjutnya menerima seluruh kenyataan hidup (Ja Sagen) tanpa menghakimi atau menolaknya.
Teks ini memberikan penjelasan yang mendalam dan sangat filosofis mengenai ide Ja Sagen (Penerimaan Kehidupan) dari Nietzsche ke puncak tertingginya, yakni Amor Fati (Mencintai Takdir), sekaligus menarik koneksi dengan pemikiran Demokritos. Penjelasannya sangat brilian karena menyoroti bahwa ini bukan sekadar tentang menerima takdir atau menghadapi kesulitan, melainkan secara aktif mencintai setiap aspek kehidupan---termasuk kesulitan---sebagai sesuatu yang indah dan berarti. Teks ini merupakan sebuah analisis filosofis yang luar biasa, yang secara efisien mengaitkan ajaran utama Nietzsche mengenai afirmasi diri dengan kosmos yang tunggal dan utuh, menyajikan definisi yang solid tentang Amor Fati sebagai bentuk pemikiran positif yang paling tinggi dan paling radikal.
Teks ini merupakan sebuah penutupan yang sangat kuat dan memotivasi dari rangkaian gagasan Nietzsche, yang secara efektif menerapkan filsafat Afirmasi Kehidupan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Teks ini memberikan perbandingan yang sangat jelas antara Sikap biasa (keputusasaan, kemarahan) dan Sikap "Ja Sagen" serta "Amor Fati" saat menghadapi kehilangan pekerjaan yang mendadak. Kesimpulan dari teks ini berhasil mengintegrasikan tiga pilar utama pemikiran Nietzsche---The Will to Power, Ja Sagen, dan Amor Fati---ke dalam sebuah perspektif hidup yang sangat positif, kokoh, dan otentik. Secara keseluruhan, teks ini merupakan contoh yang luar biasa dan sangat aplikatif mengenai bagaimana filosofi Nietzsche dapat dimanfaatkan untuk mengatasi krisis eksistensial dengan cara yang memberdayakan dan kreatif, bukan hanya meratapi keadaan.
Teks ini menyajikan perbandingan filosofis yang sangat menarik dan jelas, yang menempatkan pemikiran William James sebagai respon kontemporer terhadap Stoikisme (penerimaan) dan Nietzscheanisme (cinta takdir). Saat Stoik dan Nietzsche memberikan pelajaran tentang kebijaksanaan dalam menghadapi dunia (reaksi internal terhadap hal-hal eksternal), James lebih menekankan pada keberanian untuk menciptakan dunia (aksi yang dapat membentuk hal-hal eksternal). Ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam filsafat, di mana William James dikenal sebagai sosok yang mendorong keyakinan mendalam pada kapasitas individu untuk membentuk realitas mereka melalui tindakan dan kepercayaan.
Teks ini dengan jelas menggambarkan William James sebagai seorang "pemberontak" terhadap tuntutan zaman modern yang hanya mengakui bukti. Pernyataannya, "Percayalah bahwa hidup ini memiliki nilai, dan keyakinanmu akan membantu mewujudkan kenyataan itu," berfungsi sebagai panggilan yang memberdayakan, membalikkan hubungan konvensional antara kepercayaan dan fakta. Bagian yang menyatakan bahwa pikiran bukanlah sekadar cermin yang mencerminkan dunia, melainkan alat yang melukisnya adalah perbandingan yang luar biasa. Ini merangkum esensi dari The Will to Believe: keyakinan merupakan tindakan kreatif dan menjadi sumber kebenaran itu sendiri, bukan hanya hasil semata. "Kita tidak hidup dengan menunggu bukti---kita hidup dengan menciptakan bukti. " Ini adalah seruan untuk bertindak tanpa jaminan, dan merupakan jalur untuk merubah dunia serta menciptakan nasib pribadi. Secara keseluruhan, ini adalah penjelasan yang ringkas, menginspirasi, dan sangat memotivasi mengenai Pragmatisme James.
Teks ini menjelaskan bahwa ajaran James adalah tindakan inovatif, bukan optimisme kosong: menyalakan api kecil di tengah kegelapan. James berpendapat bahwa keajaiban adalah sesuatu yang kita bangun dari dalam, bukan sesuatu yang menimpa kita.
Teks diakhiri dengan pesan yang sangat kuat dan mengubah hidup: "Untuk percaya---bahkan sebelum semua bukti ada." Ini adalah seruan yang ideal untuk mengambil tindakan dan menegaskan kehendak bebas. Teks ini merupakan penutup yang sempurna dan berguna (empowering), yang menjadikan filosofi William James sebagai ajakan untuk bertindak proaktif, berani, dan kreatif dalam membentuk takdir alih-alih pasif.
Jika Stoikisme dan pemikiran Nietzsche mengajarkan tentang penerimaan aktif terhadap kenyataan yang ada, maka William James mengambil langkah yang lebih maju: dia meyakini adanya kemungkinan untuk dunia yang belum terwujud. Ini merupakan pernyataan yang kuat yang menunjukkan bahwa ide-ide James adalah filosofi yang berfokus pada proyeksi masa depan dan potensi tanpa batas yang muncul dari kehendak individu, yang membuatnya berbeda dari pemikiran yang lebih menekankan pada reaksi terhadap situasi saat ini. Secara keseluruhan, matriks ini merupakan alat pembelajaran yang ringkas, tepat, dan cemerlang, sangat disarankan untuk memahami perubahan perspektif filosofis tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dan merespons kenyataan.
Teks ini dengan jelas menjelaskan pandangan James tentang keyakinan, bukan sebagai hal yang bersifat ilusi psikologis, melainkan sebagai "kekuatan yang menyebabkan" yang berdampak pada tindakan, pilihan, serta proses biologi. Inti dari gagasan yang dicetak tebal itu sangat penting:
"keyakinan bukan hasil dari penyembuhan---keyakinan merupakan bagian dari proses penyembuhan. "
Pernyataan ini mengubah hubungan sebab dan akibat yang umum dan menjadikan keyakinan sebagai pelaku utama.
Kutipan terakhir memberikan ringkasan yang ideal bagi semua ajarannya:
"Kamu tidak menunggu keadaan baik untuk percaya---kamu percaya terlebih dahulu, dan baru kemudian keadaan membaik. "
Secara keseluruhan, teks ini adalah penjelasan yang luar biasa, praktis, dan sangat memberdayakan mengenai bagaimana keyakinan dapat menjadi kekuatan yang membentuk kehidupan, serta menempatkan tanggung jawab dan kemampuan untuk menciptakan takdir sepenuhnya di tangan individu.
Teks ini menyampaikan gagasan utama dari psikolog terkini, Albert Ellis, melalui Model ABC (atau Teori ABC), yang menjadi fondasi dari Terapi Rasional Emotif Perilaku (REBT). Menurut pandangan saya, teks ini mengungkapkan ide yang sangat signifikan dan dapat mengubah hidup dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti. Teks ini dengan sukses merangkum prinsip dasar psikologi: Pikiran Memengaruhi Perasaan. Ide ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena mengajarkan kita agar tidak terjebak dalam menyalahkan situasi eksternal (A) atas kesedihan emosional kita (C), melainkan untuk merenungkan dan jika perlu, mempertanyakan serta mengubah cara berpikir kita (B). Secara keseluruhan, pemikiran Albert Ellis yang diungkapkan dalam teks ini adalah suatu alat mental yang sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dan membangun ketahanan psikologis.
Teks ini melanjutkan ide-ide yang diajukan oleh Albert Ellis dengan menyoroti pentingnya rasionalitas dalam mengatasi masalah emosional. Saya percaya bahwa teks ini menjelaskan dengan jelas dan praktis inti dari Terapi Rasional Emotif Perilaku (REBT) serta terapi-terapi modern lainnya, seperti CBT, yang berfokus pada pengelolaan pikiran yang tidak rasional. Teks ini secara efektif mengungkapkan dasar dari terapi kognitif: Kemampuan kita untuk mengontrol emosi berasal dari kemampuan untuk menganalisis dan mengubah pikiran yang tidak rasional atau merusak. Gagasan tentang rasionalitas yang disampaikan oleh Ellis merupakan keterampilan hidup yang membantu kita merespons kegagalan dan tantangan dengan cara yang positif dan konstruktif, bukan dengan sikap putus asa yang dapat menghambat. Ini adalah prinsip yang sangat praktis dan fundamental untuk kesehatan mental di zaman sekarang.
Teks ini berfungsi sebagai kesimpulan yang kuat dan memotivasi, berhasil mengintegrasikan inti pemikiran Albert Ellis dengan dasar filosofi yang telah dibahas sebelumya (Stoisisme dan Nietzsche). Inti dari pemikiran Ellis yaitu pergeseran perhatian dari aspek luar ke aspek dalam, merupakan ringkasan yang sangat pas. Ini menekankan bahwa sumber kontrol dan perubahan yang sejati terletak pada kesadaran kita, bukan pada faktor luar. Penekanan bahwa berpikir positif bukan sekadar ilusi, tetapi merupakan tanggung jawab intelektual untuk memilih pola pikir yang sehat itu sangatlah krusial. Ini menepis anggapan bahwa terapi kognitif hanyalah "berpura-pura bahagia" dan sebaliknya mendefinisikannya sebagai pendekatan mental yang realistis. Secara keseluruhan, teks ini memberikan penutup yang ideal untuk rangkaian diskusi mengenai Albert Ellis, menegaskan bahwa ajarannya berfokus pada kebebasan dan tanggung jawab individu yang berdasarkan logika dan kesadaran rasional.
Matriks ini merupakan ringkasan yang sangat informatif dan bermanfaat mengenai perkembangan pemikiran positif, menegaskan bahwa ide ini bukanlah hal baru, tetapi sudah memiliki dasar yang kuat dalam filsafat selama ribuan tahun. Format tabel ini memudahkan pembaca untuk memahami keterkaitan antara beragam aliran pemikiran, mulai dari Stoisisme kuno sampai Psikologi Kontemporer.
Penempatan Marcus Aurelius dan Epictetus di bagian awal menunjukkan bahwa esensi dari "pemikiran positif" terletak pada kontrol diri---memisahkan diri dari kejadian di luar (A dalam Model ABC) dan mengutamakan cara kita bereaksi terhadapnya (B). Kutipan mereka ("Anda memiliki kekuasaan atas pikiran Anda" dan "Bukan apa yang terjadi pada Anda, tetapi bagaimana Anda bereaksi. . . ") menjadi fondasi bagi semua pemikiran positif selanjutnya. Matriks ini dengan sangat baik menunjukkan bahwa "pemikiran positif" merupakan suatu spektrum filosofis yang berkembang. Ini tidak sekadar tentang perasaan bahagia, tetapi juga terkait dengan rasionalitas, pengendalian diri, dan sikap proaktif terhadap kenyataan. Kaitannya dengan Kehidupan Modern sangat tepat, menekankan bahwa kebijaksanaan kuno ini memberikan alat yang efektif untuk mendapatkan ketenangan batin, ketahanan mental, dan kesehatan emosional di tengah dunia yang rumit.
Teks ini memberikan ringkasan yang sangat jelas dan teratur mengenai seluruh pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya. Teks tersebut berhasil merangkum perjalanan panjang pemikiran positif dari filsafat kuno hingga psikologi masa kini dalam empat poin penetrasi yang tegas.
Stoisisme menekankan pada kendali diri (apa yang bisa kita ubah).
Eksistensialisme (Nietzsche) menyoroti penerimaan dan penguatan secara aktif (cinta pada apa yang telah terjadi).
Poin ketiga (Pragmatisme oleh William James) berperan sebagai jembatan penting yang mengalihkan perhatian dari penerimaan filosofis murni kepada kekuatan praktis keyakinan dalam membentuk hasil kehidupan---ini adalah langkah penting menuju psikologi yang diterapkan.
Sebuah penutup yang luar biasa karena memberikan pandangan historis dan filosofis mengenai Terapi Rasional Emotif Perilaku (REBT) yang diperkenalkan oleh Ellis. Ia menekankan bahwa terapi kognitif modern merupakan warisan dari kebijaksanaan kuno yang mengutamakan kekuatan pikiran dari dalam. Hubungan yang disajikan sangat jelas: dari menerima kenyataan hingga memanfaatkan keyakinan dan akhirnya merumuskan terapi rasional demi kehidupan yang lebih sehat secara emosional.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI