Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sepenggal Kesedihan (yang Demi Tuhan Aku Tidak Mengaggapnya sebagai Puisi) untuk Hidup yang Datar

20 Februari 2020   08:58 Diperbarui: 25 Februari 2020   05:56 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku punya dunia yang kecil dengan kecemasan-kecemasannya yang besar. Di antaranya seperti kau tidak datang dalam mimpi-mimpiku, ketika aku lebih takut pada masa depanku sendiri ketimbang harus berbicara dengan penjual alat kecantikan yang menawarkan sebuah sisir karena melihat rambutku yang berantakan.

Aku kira, aku tidak pernah cukup baik untuk mengenali diriku sendiri. Kenapa aku membeli sepuluh gorengan, umpamanya, sementara perutku hanya mampu menampung tiga. Kenapa aku lebih suka menarik diri dari keramaian gedung bulu tangkis di samping rumah. Sedangkan dengan kemampuan mereka yang pas-pasan, sebenarnya aku bisa mengalahkan mereka dengan mata terpejam.

Rasa-rasanya beberapa pernyataan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan kenapa aku lebih sering berbicara denganmu melalui pohon-pohon. Karena aku suka kau diam. Seolah-olah tidak mendengar. Dan tidak mencintaiku.

Aku suka mendengarkan lagu-lagu sedih yang aku unduh atas anjuran seorang teman. Aku suka menulis sajak-sajak sedih, melamun di teras dan membayangkan Tuhan --dengan tanganNya-- sedang mengetik cerita yang lebih brengsek lagi untukku. Tapi kemudian aku pikir, aku akan tetap memaafkannya. Karena aku memang seorang hamba yang pemaaf. Atau karena aku memang seorang tokoh yang cukup tolol.

Aku tidak terlalu mengenali diriku.

Tapi aku selalu ingat untuk menghitung jumlah rambut yang rontok di atas meja. Mengukur dahi yang nampak semakin lebar dari hari ke hari. Aku menghafal kejadian-kejadian yang aku lewati di sepanjang jalan menuju kantor. Letak lubang-lubang yang selalu sama, tapi lebih sering gagal untuk aku hindari. Polisi tidur yang aku sumpahi untuk segera bangun agar aku tidak perlu menginjak rem. Atau penjual sayur yang memiliki waktu keberangkatan yang sama denganku. Yang aku sapa seperti seorang kenalan.

Hidupku yang datar, namun aku cukup mencintainya. Pohon-pohon yang tidak beranjak. Persis di tempat terakhir kali aku meninggalkan mereka. Karena mereka suka diam. Seperti aku suka kau diam. Tidak menjawab. Tapi aku ingin tahu, bagaimana kau bisa tidak hadir ke dalam mimpi-mimpiku. Atau bagaimana kau bisa tidak mencintaiku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun