Belakangan ini viral sebuah kisah yang mengguncang jagat pendidikan kita: di SMA N 1 Cimarga Kabupaten Lebak, Banten, kepala sekolahnya diduga menampar seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Aksi spontan yang berujung mogok sekolah, spanduk tuntutan pengunduran diri, dan laporan pada kepolisian membuat publik terhenyak.
Kehebohan ini kemudian membuka pintu lebar-lebar untuk refleksi: apa yang terjadi ketika emosi meningkat di ruang sekolah? Bagaimana guru, kepala sekolah, dan murid menanggapi tekanan, tanggung jawab, dan ekspektasi yang tiada henti? Di tengah semua itu, satu kata muncul dengan jelas—sabar—yang selama ini tak pernah diajarkan di kurikulum manapun, tapi menjadi syarat utama agar profesi guru tetap berjalan.
Dua puluh tahun lalu, ketika saya masih menjadi guru honorer di sebuah SMA swasta kecil, saya pernah hampir menyerah. Gaji kecil, murid bandel, fasilitas seadanya, dan beban administrasi yang terasa tak ada habisnya. Suatu sore, setelah pelajaran terakhir, saya duduk sendirian di ruang guru yang mulai kosong. Di luar, suara murid-murid masih terdengar riuh. Saya menunduk, memandang buku nilai yang belum selesai diisi, dan bergumam lirih, “Mungkin saya memang tak cocok jadi guru.”
Tapi entah mengapa, malam itu saya tetap datang esok harinya. Mungkin karena ada murid yang menunggu saya di kelas. Mungkin karena saya tahu, ada janji kecil yang tak pernah saya ucapkan dengan kata-kata: untuk tetap sabar, apapun yang terjadi.
Sabar. Kata sederhana itu tak pernah ada di modul pelatihan guru, tak tercantum dalam kurikulum, dan tak menjadi indikator dalam penilaian kinerja. Tapi tanpa sabar, profesi ini tak akan pernah bertahan. Tak ada buku panduan tentang bagaimana menahan marah ketika murid menjawab dengan nada tinggi, atau bagaimana tetap tersenyum ketika laporan harus dikumpulkan sementara kepala terasa pening. Tidak ada RPP yang memuat “strategi menghadapi hati yang remuk,” tapi setiap guru pasti pernah menjalani bab itu dengan caranya sendiri.
Saya masih ingat seorang guru matematika di sekolah lama saya dulu. Beliau dikenal sabar luar biasa. Murid-murid sering bercanda di kelasnya, bahkan kadang membuatnya menunggu lama sampai semua tenang. Tapi beliau tidak pernah marah. Hanya tersenyum sambil berkata pelan, “Kalau sudah siap belajar, Ibu juga siap.” Tidak ada ancaman, tidak ada bentakan. Anehnya, setiap kali beliau bicara begitu, kelas langsung hening. Kini, setelah saya sendiri menjadi guru, saya baru paham: kesabaran seperti itu tidak lahir dari kelemahan, tapi dari kekuatan yang sangat besar.
Kesabaran guru adalah kekuatan yang jarang terlihat tapi selalu dirasakan. Ia tak tercatat di laporan kinerja, tapi terekam dalam kenangan murid. Murid mungkin lupa rumus atau definisi, tapi mereka akan selalu ingat bagaimana seorang guru membuat mereka merasa dimengerti. Saya yakin, di setiap kesuksesan seorang murid, ada kesabaran guru yang berlapis-lapis di belakangnya.
Menjadi guru adalah perjalanan panjang yang penuh ujian kecil. Dari murid yang tak membawa buku, orang tua yang menuntut tanpa memahami, hingga tekanan administratif yang datang bertubi-tubi. Kadang, dunia pendidikan terasa seperti panggung yang tak pernah sepi—semua menilai, tapi sedikit yang memahami. Di sinilah sabar menjadi satu-satunya pakaian yang harus selalu dikenakan. Ia melindungi hati agar tidak retak, menjaga pikiran agar tetap jernih, dan menahan lidah agar tidak salah bicara.
Saya pernah mendapati diri saya hampir kehilangan kesabaran. Seorang murid di kelas saya waktu itu sulit diatur, sering mengganggu temannya, bahkan menantang dengan tatapan yang tajam. Hari itu saya marah, suara saya meninggi. Murid itu diam, tapi setelah pelajaran usai, ia menghampiri dan berkata pelan, “Maaf, Pak… saya cuma pengin Bapak lihat saya.” Kata-kata itu menampar perasaan saya. Sejak saat itu saya belajar, bahwa banyak kenakalan murid bukan bentuk perlawanan, tapi permintaan untuk diperhatikan. Dan di situlah sabar menjadi bentuk tertinggi dari kasih sayang.
Sabar bukan berarti diam, bukan berarti pasrah. Sabar adalah kemampuan untuk tetap berpikir jernih saat hati bergolak. Sabar adalah keberanian untuk memilih jalan yang panjang—mengubah murid dengan cinta, bukan dengan marah. Dan untuk melakukan itu, seorang guru harus punya keyakinan bahwa setiap anak bisa berubah, walau pelan, walau butuh waktu lama.
Saya sering bertanya pada diri sendiri: dari mana datangnya kesabaran guru? Mungkin dari wajah-wajah murid yang setiap pagi menyapa dengan senyum. Mungkin dari semangat kecil yang muncul ketika mereka akhirnya memahami pelajaran yang dulu terasa mustahil. Atau mungkin dari rasa syukur sederhana—bahwa setiap hari, kita masih diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kehidupan orang lain.
Saya teringat satu sore beberapa tahun lalu. Seorang murid datang menemui saya setelah lulus. Ia berkata, “Pak, waktu itu saya sering buat Bapak kesal ya. Tapi Bapak nggak pernah marah. Sekarang saya tahu kenapa. Karena Bapak sabar.” Saya hanya tersenyum. Padahal kalau ia tahu, betapa sering saya ingin marah, betapa sering saya menahan kata-kata yang hampir keluar. Tapi ternyata, sabar yang saya kira tak berarti besar itu justru menjadi kenangan yang ia bawa bertahun-tahun kemudian.
Kadang kita lupa, sabar bukan hanya untuk murid, tapi juga untuk diri sendiri. Guru pun manusia yang bisa kecewa pada hasil kerjanya sendiri, bisa merasa gagal, bisa merasa lelah. Sabar terhadap diri sendiri berarti memberi ruang untuk belajar dari kesalahan tanpa kehilangan semangat. Karena setiap guru tahu, perjalanan menjadi lebih baik itu tidak pernah berhenti.
Kini, setelah dua dekade saya menekuni profesi ini, saya semakin yakin bahwa sabar adalah inti dari pendidikan. Ia tak masuk kurikulum karena tak bisa diajarkan lewat teori. Ia hanya bisa dipelajari lewat pengalaman, lewat air mata, lewat senyum yang dipaksakan agar murid tetap merasa aman. Dan pada akhirnya, kesabaran itulah yang mengubah ruang kelas menjadi tempat yang penuh kasih.
Tidak ada penghargaan untuk kesabaran guru. Tidak ada sertifikat atau angka kredit untuk menahan marah. Tapi di balik setiap murid yang tumbuh dengan baik, ada guru yang memilih diam ketika ingin marah, memilih mendekat ketika ingin menjauh, memilih mengajar lagi ketika semangat hampir habis.
Sabar memang tak pernah masuk kurikulum. Tapi tanpa sabar, tidak ada pelajaran yang bisa berjalan, tidak ada cinta yang bisa tumbuh, dan tidak ada guru yang bisa bertahan.
Maka jika suatu hari seorang murid berkata, “Terima kasih, Pak, Ibu,” percayalah, di balik ucapan itu tersimpan penghargaan untuk semua kesabaran yang pernah kita tanam diam-diam — sabar yang menjadi bagian dari cinta, yang tak tertulis di RPP mana pun, tapi tertanam di hati mereka selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI