Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Sabar Diuji di Ruang Kelas: Refleksi dari Kasus Cimarga

18 Oktober 2025   15:43 Diperbarui: 18 Oktober 2025   15:43 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang SMAN 1 Cimarga. Sumber foto : detik news.com

Saya sering bertanya pada diri sendiri: dari mana datangnya kesabaran guru? Mungkin dari wajah-wajah murid yang setiap pagi menyapa dengan senyum. Mungkin dari semangat kecil yang muncul ketika mereka akhirnya memahami pelajaran yang dulu terasa mustahil. Atau mungkin dari rasa syukur sederhana—bahwa setiap hari, kita masih diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kehidupan orang lain.

Saya teringat satu sore beberapa tahun lalu. Seorang murid datang menemui saya setelah lulus. Ia berkata, “Pak, waktu itu saya sering buat Bapak kesal ya. Tapi Bapak nggak pernah marah. Sekarang saya tahu kenapa. Karena Bapak sabar.” Saya hanya tersenyum. Padahal kalau ia tahu, betapa sering saya ingin marah, betapa sering saya menahan kata-kata yang hampir keluar. Tapi ternyata, sabar yang saya kira tak berarti besar itu justru menjadi kenangan yang ia bawa bertahun-tahun kemudian.

Kadang kita lupa, sabar bukan hanya untuk murid, tapi juga untuk diri sendiri. Guru pun manusia yang bisa kecewa pada hasil kerjanya sendiri, bisa merasa gagal, bisa merasa lelah. Sabar terhadap diri sendiri berarti memberi ruang untuk belajar dari kesalahan tanpa kehilangan semangat. Karena setiap guru tahu, perjalanan menjadi lebih baik itu tidak pernah berhenti.

Kini, setelah dua dekade saya menekuni profesi ini, saya semakin yakin bahwa sabar adalah inti dari pendidikan. Ia tak masuk kurikulum karena tak bisa diajarkan lewat teori. Ia hanya bisa dipelajari lewat pengalaman, lewat air mata, lewat senyum yang dipaksakan agar murid tetap merasa aman. Dan pada akhirnya, kesabaran itulah yang mengubah ruang kelas menjadi tempat yang penuh kasih.

Tidak ada penghargaan untuk kesabaran guru. Tidak ada sertifikat atau angka kredit untuk menahan marah. Tapi di balik setiap murid yang tumbuh dengan baik, ada guru yang memilih diam ketika ingin marah, memilih mendekat ketika ingin menjauh, memilih mengajar lagi ketika semangat hampir habis.

Sabar memang tak pernah masuk kurikulum. Tapi tanpa sabar, tidak ada pelajaran yang bisa berjalan, tidak ada cinta yang bisa tumbuh, dan tidak ada guru yang bisa bertahan.

Maka jika suatu hari seorang murid berkata, “Terima kasih, Pak, Ibu,” percayalah, di balik ucapan itu tersimpan penghargaan untuk semua kesabaran yang pernah kita tanam diam-diam — sabar yang menjadi bagian dari cinta, yang tak tertulis di RPP mana pun, tapi tertanam di hati mereka selamanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun