Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hari Pangan Sedunia dan Makan Bergizi Gratis

16 Oktober 2025   00:01 Diperbarui: 16 Oktober 2025   16:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Antara News

Pagi itu, dari kejauhan, terlihat mobil boks berhenti di depan gerbang—membawa paket makanan dari dapur penyedia program Makan Bergizi Gratis (MBG). Halaman sekolah sudah ramai, anak-anak berbaris sambil membawa kotak makan stainless. Bau nasi hangat dan tumisan sayur memenuhi udara. 

“Wah, hari ini lauknya ikan ya, Bu!” seru Arif, siswa kelas lima yang tampak antusias membuka paketnya.

“Yuk, dimakan dulu sebelum dingin,” sahut Ibu Rani, guru kelasnya. “Jangan lupa sayurnya juga, itu yang bikin kuat.”

Suasana seperti itu kini bisa ditemui di banyak sekolah dasar di Indonesia. Tidak ada kantin yang memasak di tempat, karena makanan disiapkan di dapur khusus di luar sekolah—oleh penyedia jasa katering yang sudah ditunjuk. Anak-anak menerima satu paket makanan lengkap, tanpa opsi nambah atau pilih menu.

Bagi mereka, ini bukan cuma soal makan gratis. Ini tentang perhatian negara yang hadir sampai ke meja makan kecil di ruang kelas.

Bukan Sekadar Seremonial

Setiap 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia, momen untuk mengingatkan bahwa makanan adalah hak dasar manusia, bukan kemewahan.

Tapi di Indonesia, momen ini tak berhenti di seremoni. Ia diwujudkan dalam langkah nyata lewat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) — upaya untuk memastikan anak-anak tak belajar dalam keadaan lapar.

Masih banyak siswa yang datang ke sekolah hanya sarapan dengan teh manis atau singkong rebus. Di tengah kondisi ekonomi yang serba naik, makan bergizi jadi hal yang kadang sulit dijangkau. Maka, ketika program MBG hadir, rasanya seperti napas baru di tengah banyak keluarga yang berjuang.

Dari Dapur Terpusat ke Piring Anak Sekolah

Program MBG dijalankan dengan sistem yang cukup rapi. Makanan dimasak di dapur terpusat—bukan di sekolah—oleh penyedia jasa katering yang sudah diverifikasi. Dari sana, makanan dikemas dalam boks tertutup dan dikirim ke sekolah setiap pagi.

Setibanya di sekolah, guru dan petugas membantu membagikannya ke siswa. Tidak ada yang boleh memilih menu atau menambah porsi. Semua mendapat bagian yang sama: sepiring nasi, lauk pauk berprotein, sayur, dan buah.

Sederhana, tapi bernilai besar.

Anak-anak yang tadinya sulit sarapan kini bisa menikmati makanan lengkap tanpa membebani orang tua. Guru pun merasa terbantu, karena siswa yang kenyang biasanya lebih fokus saat belajar.

Dampak yang Terasa di Kelas

Ibu Rani, guru SD di daerah pesisir, mengaku merasakan perbedaan nyata.

“Dulu, jam sembilan pagi anak-anak sudah lemas. Sekarang, mereka lebih semangat,” katanya sambil tersenyum.

Beberapa siswa bahkan mulai berani mencoba makanan yang sebelumnya tidak pernah mereka makan di rumah—seperti sayur bayam atau ikan pindang.

Program ini mungkin terdengar sederhana, tapi dampaknya langsung terasa: tidak hanya mengenyangkan, tapi juga memperkenalkan kebiasaan makan sehat.

Lebih dari Sekadar Paket Makan

Tentu saja, tujuan besar dari program ini bukan sekadar memberi makan gratis.

Ia adalah intervensi gizi—upaya nyata untuk melawan stunting dan kekurangan nutrisi pada anak-anak Indonesia.

Stunting bukan cuma soal tinggi badan, tapi juga perkembangan otak. Anak yang kekurangan gizi sejak dini berisiko kesulitan belajar, mudah sakit, dan kurang produktif di masa depan.

Jadi, ketika satu anak menerima paket makan bergizi hari ini, sejatinya ia sedang menerima peluang untuk tumbuh lebih sehat dan cerdas.

Sejalan dengan Tujuan Dunia

Apa yang dilakukan Indonesia lewat MBG ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan nomor 2: Zero Hunger — dunia tanpa kelaparan.

Tapi efeknya meluas ke tujuan lain juga. Gizi yang baik mendukung kesehatan (SDG 3), membantu prestasi akademik (SDG 4), dan memperkecil kesenjangan sosial (SDG 10).

Dari dapur kecil di daerah, Indonesia ikut bergerak bersama dunia menuju masa depan yang lebih adil dan sehat.

Tantangan yang Tak Kecil

Meski niatnya mulia, menjalankan program sebesar ini tentu tak mudah.

Indonesia punya lebih dari 270 juta penduduk, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Distribusi makanan dari dapur ke sekolah di daerah terpencil bisa jadi ujian tersendiri: jalan rusak, hujan deras, atau kendala logistik lain kadang menghambat.

Belum lagi tantangan soal standar gizi, higienitas, dan ketepatan waktu pengantaran. Semua harus dijaga agar makanan tetap layak konsumsi saat sampai di tangan siswa.

Di sisi lain, program ini juga membuka peluang baru. Banyak penyedia makanan lokal, UMKM, hingga petani yang kini bisa terlibat sebagai mitra penyedia bahan pangan. Jadi, MBG bukan cuma soal gizi, tapi juga soal pemberdayaan ekonomi lokal.

Pangan Itu Soal Martabat

Di balik semua itu, ada filosofi sederhana tapi dalam: pangan adalah martabat.

Bangsa yang bisa memberi makan rakyatnya dengan layak adalah bangsa yang berdaulat.

Hari Pangan Sedunia bukan sekadar tanggal di kalender, tapi pengingat bahwa masih ada anak-anak yang belajar sambil menahan lapar.

Dan lewat program Makan Bergizi Gratis, Indonesia sedang berusaha memastikan hal itu tak lagi terjadi.

Sepaket makanan mungkin terlihat kecil, tapi di dalamnya tersimpan harapan besar — harapan agar generasi penerus bangsa tumbuh sehat, kuat, dan siap membawa Indonesia melangkah lebih jauh.

Refleksi: Peran Guru dan Orang Tua di Meja Makan Anak Bangsa

Program ini mungkin datang dari kebijakan pusat, tapi keberhasilannya tumbuh dari akar rumput — dari guru yang sabar membagikan makanan, memastikan anak-anak makan dengan tertib, sampai orang tua yang menanamkan kebiasaan makan sehat di rumah.

Di banyak sekolah, ada momen kecil yang indah: anak-anak yang awalnya malu-malu makan bersama, kini berbagi cerita sambil membuka boks mereka. Di situlah nilai gotong royong dan kesetaraan tumbuh tanpa mereka sadari.

Program Makan Bergizi Gratis bisa jadi program pemerintah, tapi maknanya jauh lebih besar — ini adalah pelajaran kehidupan. Bahwa sepiring nasi, sepotong lauk, dan sejumput kepedulian bisa menumbuhkan rasa syukur, kebersamaan, dan harapan.

Dan siapa tahu, dari meja makan sederhana di sekolah-sekolah itu, lahir generasi yang kelak membuat bangsa ini berdiri lebih tegak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun