Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Jadi Obat untuk Kepala yang Tak Mau Diam

6 Oktober 2025   05:15 Diperbarui: 6 Oktober 2025   05:15 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Media Mahasiswa Indonesia 

Pernah merasa kepala begitu penuh sampai rasanya ingin menekan tombol "off"? Pikiran datang bertubi-tubi, memutar ulang hal-hal kecil yang bahkan sudah lewat berhari-hari. Kita ingin berhenti berpikir, tapi otak menolak diam. Dan di tengah semua kebisingan itu, siapa sangka, selembar kertas kosong bisa menjadi penyelamat kecil: menulis.

Ada masa ketika kepala terasa sesak. Kita duduk diam, tapi di dalam kepala ada ribuan suara yang berdebat. "Kenapa aku bilang begitu?" "Apa yang mereka pikirkan?" "Bagaimana kalau nanti gagal?" Dan tanpa sadar, malam sudah larut, tapi pikiran tetap maraton tanpa garis finis.

Itulah overthinking---penyakit kecil tapi melelahkan yang nyaris jadi bagian dari hidup modern. Kita berusaha mencari ketenangan lewat hiburan, musik, atau tidur panjang, tapi sering kali justru yang paling menenangkan adalah hal yang sederhana: menulis.

Menulis tidak butuh syarat khusus. Tidak perlu punya gaya puitis, tidak harus mahir memilih diksi. Ia hanya butuh kejujuran. Saat menulis, kita tidak sedang berusaha membuat karya, tapi sedang mengosongkan kepala.

Menulis bukan untuk didengar orang lain, tapi untuk akhirnya bisa mendengar diri sendiri.

Ketika kita menuliskan isi kepala, perlahan ada sesuatu yang bergeser. Pikiran yang tadinya berputar di kepala, berpindah ke kertas. Otak seperti diberi sinyal bahwa beban itu sudah ditaruh, tidak perlu terus dibawa.

Menulis memberi bentuk pada kekacauan. Ia memaksa kita memberi struktur pada apa yang semula hanya rasa. Kita mulai melihat alur: apa yang terjadi, mengapa itu membuat kita cemas, dan apa yang sebenarnya kita takutkan.

Lucunya, menulis juga mempertemukan dua sisi dalam diri kita---logika dan emosi. Saat merangkai kalimat, kita sedang menyeimbangkan keduanya. Di tengah proses itu, sering muncul kesadaran kecil yang tak disangka: "Aku tidak sedang marah, aku hanya kecewa." Atau, "Aku tidak takut gagal, aku hanya takut dilihat gagal."

Membaca ulang tulisan sendiri kadang seperti bercermin. Dari sana, kita melihat pola yang sebelumnya tersembunyi. Ada yang sadar selama ini terlalu keras pada diri sendiri. Ada pula yang baru mengerti bahwa ketakutannya bukan tentang masa depan, melainkan masa lalu yang belum disembuhkan.

Menulis membuat kita melihat diri dari jarak aman. Saat pikiran masih di kepala, semuanya kabur dan terasa besar. Tapi ketika sudah ditulis, ia jadi konkret. Bisa dibaca, dipahami, bahkan dipeluk. Dari jarak itu, kita belajar: ternyata tidak semua hal menakutkan seperti yang kita bayangkan.

Namun, menulis juga bisa menjadi jebakan jika dilakukan tanpa arah. Kalau yang kita tulis hanya keluhan tanpa refleksi, kita bisa malah berputar di lingkaran yang sama. Seperti menulis ulang luka tanpa mencoba memahaminya.

Kuncinya adalah menulis dengan niat untuk memahami, bukan sekadar meluapkan. Tidak harus menemukan solusi, cukup mencoba jujur: "Apa yang sebenarnya aku rasakan?" dan "Kenapa aku merasa begini?" Dari pertanyaan itu saja, sering lahir ketenangan.

Kebiasaan kecil yang juga bisa menenangkan adalah menulis hal-hal yang kita syukuri setiap hari. Tiga hal saja. Bisa menikmati kopi pagi, bisa bercanda dengan teman, atau sekadar masih punya waktu tidur siang. Saat dilakukan rutin, fokus kita perlahan bergeser dari "apa yang kurang" menjadi "apa yang sudah cukup." Dan perubahan sederhana itu bisa membuat hidup terasa lebih ringan.

Menulis juga tidak harus panjang. Bisa berupa catatan pendek di ponsel, surat yang tidak pernah dikirim, atau bahkan coretan acak di buku catatan kerja. Yang penting adalah keberaniannya: berani jujur, berani mengakui, dan berani melepaskan. Karena tulisan yang paling menyembuhkan bukan yang paling indah, tapi yang paling jujur.

Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi, tapi tempat untuk menaruh pikiran yang terlalu berat untuk dibawa sendiri.

Menulis mengajarkan kita untuk berhenti sejenak di dunia yang serba cepat. Ia membuat kita melambat, menyadari napas sendiri, dan memberi ruang bagi kepala untuk bernapas. Kita tidak bisa sepenuhnya berhenti berpikir---itu bagian dari manusia. Tapi kita bisa belajar untuk tidak tenggelam di dalam pikiran.

Dan di situlah menulis bekerja. Ia tidak menyingkirkan overthinking, tapi mengubahnya jadi sesuatu yang bisa dipahami. Ia menjinakkan pikiran yang terlalu liar, mengubah kebisingan menjadi cerita, dan menjadikan kepala yang penuh terasa lebih ringan.

Kadang, ketenangan bukan datang dari jawaban besar, tapi dari keberanian kecil untuk menulis pertanyaannya. Karena mungkin, cara terbaik untuk menenangkan pikiran bukan dengan berhenti berpikir, melainkan dengan menuliskannya.

Kita tidak bisa menghentikan pikiran, tapi kita bisa mengarahkan ke mana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun