Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Jadi Obat untuk Kepala yang Tak Mau Diam

6 Oktober 2025   05:15 Diperbarui: 6 Oktober 2025   05:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah merasa kepala begitu penuh sampai rasanya ingin menekan tombol "off"? Pikiran datang bertubi-tubi, memutar ulang hal-hal kecil yang bahkan sudah lewat berhari-hari. Kita ingin berhenti berpikir, tapi otak menolak diam. Dan di tengah semua kebisingan itu, siapa sangka, selembar kertas kosong bisa menjadi penyelamat kecil: menulis.

Ada masa ketika kepala terasa sesak. Kita duduk diam, tapi di dalam kepala ada ribuan suara yang berdebat. "Kenapa aku bilang begitu?" "Apa yang mereka pikirkan?" "Bagaimana kalau nanti gagal?" Dan tanpa sadar, malam sudah larut, tapi pikiran tetap maraton tanpa garis finis.

Itulah overthinking---penyakit kecil tapi melelahkan yang nyaris jadi bagian dari hidup modern. Kita berusaha mencari ketenangan lewat hiburan, musik, atau tidur panjang, tapi sering kali justru yang paling menenangkan adalah hal yang sederhana: menulis.

Menulis tidak butuh syarat khusus. Tidak perlu punya gaya puitis, tidak harus mahir memilih diksi. Ia hanya butuh kejujuran. Saat menulis, kita tidak sedang berusaha membuat karya, tapi sedang mengosongkan kepala.

Menulis bukan untuk didengar orang lain, tapi untuk akhirnya bisa mendengar diri sendiri.

Ketika kita menuliskan isi kepala, perlahan ada sesuatu yang bergeser. Pikiran yang tadinya berputar di kepala, berpindah ke kertas. Otak seperti diberi sinyal bahwa beban itu sudah ditaruh, tidak perlu terus dibawa.

Menulis memberi bentuk pada kekacauan. Ia memaksa kita memberi struktur pada apa yang semula hanya rasa. Kita mulai melihat alur: apa yang terjadi, mengapa itu membuat kita cemas, dan apa yang sebenarnya kita takutkan.

Lucunya, menulis juga mempertemukan dua sisi dalam diri kita---logika dan emosi. Saat merangkai kalimat, kita sedang menyeimbangkan keduanya. Di tengah proses itu, sering muncul kesadaran kecil yang tak disangka: "Aku tidak sedang marah, aku hanya kecewa." Atau, "Aku tidak takut gagal, aku hanya takut dilihat gagal."

Membaca ulang tulisan sendiri kadang seperti bercermin. Dari sana, kita melihat pola yang sebelumnya tersembunyi. Ada yang sadar selama ini terlalu keras pada diri sendiri. Ada pula yang baru mengerti bahwa ketakutannya bukan tentang masa depan, melainkan masa lalu yang belum disembuhkan.

Menulis membuat kita melihat diri dari jarak aman. Saat pikiran masih di kepala, semuanya kabur dan terasa besar. Tapi ketika sudah ditulis, ia jadi konkret. Bisa dibaca, dipahami, bahkan dipeluk. Dari jarak itu, kita belajar: ternyata tidak semua hal menakutkan seperti yang kita bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun