Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepiring Kehangatan

23 Februari 2025   18:32 Diperbarui: 23 Februari 2025   18:32 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangis itu pecah tiba-tiba, memecah kesunyian malam. Aku terbangun dari tidur yang tak nyenyak, jantung berdebar kencang. Suara itu berasal dari kamar Ibu. Aku melompat dari tempat tidur, berlari menuju sumber suara. Pintu kamarnya terbuka lebar, dan di sana, Ibu terbaring lemah di tempat tidur, tangannya menggenggam erat dadanya. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. "Ana..." bisiknya lemah, matanya mencari-cari kehadiranku. Aku bergegas memanggil ambulans, tapi segalanya terjadi terlalu cepat. Sebelum bantuan datang, Ibu sudah menutup mata untuk selamanya. Malam itu, hidupku berubah selamanya.

Tiga bulan tanpa Ibu terasa seperti selamanya. Setiap minggu, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi makamnya di pekuburan kota yang terletak di pinggir pantai. Bukan hanya karena tradisi, tapi karena aku masih belum bisa melepaskan. Setiap kali pulang dari makam, aku selalu membawa serta kehampaan yang sama. Kehampaan itu seperti bayangan yang terus mengikuti, mengingatkanku pada kekosongan yang tak terisi.

Pagi ini, aku berniat datang lebih awal dari jadwal rutinku. Hari Jumat---hari kesukaan Ibu. Dulu, setiap Jumat pagi, Ibu selalu mengajakku memasak bersama. "Masak itu ibadah, Na," begitu katanya. Tapi sudah dua tahun terakhir sebelum kepergiannya, aku selalu menolak dengan alasan meeting pagi atau deadline. Sekarang, kenangan itu menghantui seperti bayangan yang tak bisa kuusir. Aku menyesal, tapi penyesalan itu datang terlambat.

Hujan turun sejak subuh, seolah langit tahu isi hatiku. Aku terduduk di teras, memandangi tetes-tetes air yang jatuh dari ujung atap. Setiap tetesnya mengingatkanku pada air mata Ibu saat terakhir kali aku menolak ajakannya memasak. "Tidak apa-apa, yang penting kamu sukses," katanya waktu itu, dengan senyum yang kini kusadari menyimpan luka. Luka yang mungkin tak pernah sembuh, tapi Ibu selalu menyembunyikannya dengan senyuman.

"Mbak Ana belum sarapan?" 

Suara Mbok Darmi memecah lamunanku. Di ambang pintu, wanita yang sudah seperti ibu keduaku itu berdiri membawa nampan. Uap mengepul dari secangkir teh dan sepiring nasi uduk. Aromanya menguar, membawa serta serpihan-serpihan kenangan yang selama ini kucoba kubur dalam-dalam. Kenangan itu seperti angin yang tiba-tiba menerpa, membuka luka lama yang belum sembuh.

"Nanti saja, Mbok. Tunggu hujannya reda," jawabku parau. Suaraku terdengar berat, seperti beban yang kusimpan selama ini.

Mbok Darmi mendekat, meletakkan nampan di meja kecil. Tangannya yang berkeriput karena usia dan kerja keras menyentuh bahuku lembut. "Sudah tiga bulan Mbak Ana jarang makan. Ibu pasti sedih melihatnya." Kata-katanya seperti pukulan yang membuat dadaku sesak.

Mataku memanas. "Mbok masih ingat resep nasi uduk Ibu?"

"Mana mungkin lupa, Mbak. Dua puluh tahun saya belajar dari Ibu. Setiap Jumat pagi, saya selalu memperhatikan cara Ibu memasak. Cara beliau mengukur santan, memilih daun salam, sampai mengaduk nasinya pun saya ingat betul." Mbok Darmi tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Aku tahu, dia juga merindukan Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun