Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Guru yang masih belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mimpi Pesta Rakyat yang Elegan dan Beretika

12 Februari 2024   00:01 Diperbarui: 12 Februari 2024   00:04 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: LovePik

"Menghormati perbedaan adalah kunci perdamaian."

Setiap kali pesta demokrasi digelar di Indonesia, baik itu Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Gubernur (Pilgub), bahkan hingga Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), tidak jarang menyisakan luka dan perpecahan di tengah masyarakat. Elite politik terbelah menjadi kubu. Rakyat yang semula bertetangga dengan rukun, tiba-tiba saling membenci hanya karena beda pilihan politik. Fanatisme berlebihan terhadap tokoh ataupun partai politik tertentu kerap memicu perselisihan dan permusuhan sesama warga. 

Fenomena ini tentu sangat disayangkan. Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaiknya, justru menjadikan hubungan dan kerukunan antar warga menjadi retak. Padahal, Indonesia adalah negara majemuk dengan keragaman suku, agama, ras, dan golongan. Perbedaan politik adalah hal yang wajar dan seharusnya ditoleransi, bukannya diperuncing hingga saling benci dan bermusuhan.

Lalu, apa yang salah sebenarnya dalam cara kita berdemokrasi? Menurut saya, ada dua faktor utama yang menyebabkan hal ini. 

Pertama, kurangnya pendidikan politik sejak dini. Sebagian besar masyarakat belum memahami etika dan tata cara berdemokrasi yang baik dan benar. Mereka cenderung mudah terbawa emosi dan terprovokasi isu-isu sensitif seperti SARA demi kepentingan politik tertentu. Pemahaman mengenai demokrasi, hak pilih, kampanye politik, dan lainnya masih minim. 

Akibatnya, masyarakat mudah terseret arus fanatisme buta dan mengagung-agungkan figur atau partai tertentu tanpa kritik yang rasional. Ketika figur yang mereka dukung kalah dalam pesta demokrasi, mereka sulit menerima dan menganggap pesta demokrasi gagal. Padahal, menang-kalah adalah hal wajar dalam setiap kompetisi politik di negara demokrasi.

Kedua, budaya politik di Indonesia yang masih bersifat confrontatif (berhadap-hadapan) dan belum mengedepankan etika. Kampanye politik seringkali menggunakan cara-cara hitam dengan menjatuhkan lawan politik, bukan menawarkan visi dan program kerja yang lebih baik. Elite politik masih memanfaatkan sentimen SARA, hoaks, ujaran kebencian, dan isu-isu provokatif lain demi meraih suara. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan etika dan mengancam kerukunan sosial.

Dampaknya tentu sangat merugikan. Hubungan antar kelompok masyarakat menjadi retak. Demokrasi yang seharusnya memuliakan perbedaan dan persaingan sehat, justru menjadi ajang saling menjatuhkan. Figur politik tertentu dianggap "haram" dan pendukungnya layak dihukum. Padahal semua warga negara memiliki hak suara yang setara dalam berdemokrasi. Stigma seperti ini sangat berbahaya dan berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi itu sendiri.

Nah, untuk mengatasi berbagai persoalan ini, menurut saya setidaknya ada tiga langkah strategis yang bisa dilakukan:

Pertama, pendidikan politik harus digalakkan sejak usia dini. Generasi muda sebagai calon pemilih dan pemimpin masa depan harus sejak dini dibekali pemahaman yang komprehensif tentang demokrasi, sistem politik, hak warga negara, etika berpolitik, dan lain sebagainya. 

Mereka harus diajarkan untuk bersikap kritis, rasional, dan jauh dari sikap fanatisme buta terhadap figur publik. Ini bisa dilakukan secara formal melalui kurikulum sekolah maupun non-formal melalui berbagai forum diskusi dan pelatihan kepemudaan. Dengan begitu, diharapkan generasi muda kelak bisa menjadi pemilih yang cerdas dan rasional dalam berdemokrasi.

Kedua, elite politik dan parpol sebagai kontestan dalam pesta demokrasi harus mengedepankan kampanye positif. Mereka perlu menawarkan visi misi dan program kerja yang konkret, bukan sekadar menjatuhkan lawan politik lewat kampanye hitam. Pesta demokrasi harus dijadikan ajang kompetisi sehat dan bermartabat untuk menarik hati rakyat.

Undang-undang dan peraturan yang mengatur kampanye politik perlu dimutakhirkan agar lebih ketat melarang politik uang, SARA, dan kampanye hitam lainnya. Pengawasan independen dari masyarakat sipil juga penting untuk memastikan pesta demokrasi berlangsung adil dan beretika.

Ketiga, semua komponen bangsa harus ikut menjaga kerukunan sosial di tengah perbedaan politik yang ada. Media massa misalnya, perlu menjalankan jurnalisme damai yang tidak memicu konflik dan perpecahan di masyarakat. Tokoh agama dan adat juga hendaknya memberi contoh sikap toleran dan menghargai kebhinekaan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat mengadakan dialog dan mediasi jika terjadi ketegangan akibat persaingan politik yang keterlaluan.

Dengan tiga langkah di atas, saya yakin pesta demokrasi di Indonesia dapat diselenggarakan dalam suasana yang lebih santun dan rasional. Perbedaan politik tidak akan memecah belah kesatuan dan kerukunan bangsa. Dengan demikian, cita-cita reformasi 1998 untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dapat semakin dikembangkan di masa mendatang.

Itulah opini saya mengenai bagaimana membudayakan politik yang santun dan kritis dalam pesta demokrasi di Indonesia. Tentu pandangan ini masih jauh dari sempurna. Saya mengundang pembaca sekalian untuk memberi masukan dan kritik konstruktif demi memperbaiki tata kelola demokrasi di negara tercinta ini. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu diskusi yang bermanfaat bagi semua pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun